Powered By Blogger

Rabu, 30 Maret 2011

Peran Pembelajaran Geografi dalam membangun karakter Bangsa

TUGAS
UJIAN AKHIR SEMESTER
MATA KULIAH
GEOGRAFI DAN KEPENDUDUKAN
DOSEN : Prof. Dr. Sc. H. M. Ahman Sya., Drs., M. Pd., M. Sc

PERAN PEMBELAJARAN GEOGRAFI DALAM MEMBANGUN KARAKTER BANGSA


Mahasiswa:
SULAEMAN EFFENDI (108700 )
ATI ( 108700 )
ACEP ABUD BURHANI ( 10870014 )


PROGRAM PASCA SARJANA IPS
STKIP PASUNDAN CIMAHI
2010


KATA PENGANTAR


Bismillahirrohmaanirrohim
Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Illahi Robbi yang telah memberikan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini berjudul Peran pembelajaran geografi dalam membangun karakter bangsa. Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Geografi dan kependudukan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran untuk menjadi bahan koreksi bagi penulis dalam memperbaiki segala kekurangannya.
Tidak lupa pula penulis menyampaikan rasa terima kasih sebanyak-banyaknya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya kepada penulis dalam penyelesaian makalah ini.Semoga Allah membalas dengan setimpal semua kebaikannya.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi masyarakat luas lainnya.


Bandung, Nopember 2010


Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

Ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu pengetahuan semua keperluan dan kebutuhan dapat terpenuhi secara lebih sepat dan lebih mudah. Dan merupakan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal pemberantas pengakit, kelaparan dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bias merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pendidikan, komunikasi dan lain sebagainya.
Ilmu banyak ragamnya salah satu yang akan dibahas adalah pembelajaran geografi sebagai ilmu yang tidak bisa dipungkiri dapat merubah tatanan manusia untuk mengubah wajah dunia pada umumnya dan bangsa pada hususnya yaitu diantaranya membangun karakter bangsa
Geografi merupakan ilmu untuk menunjang kehidupan sepanjang hayat dan mendorong, peningkatan kehidupan. Oleh karena itu kita didorong untuk memahami aspek dan proses fisik yang membentuk pola muka bumi, karaketeristik dan persebaran spasial ekologi di permukaan bumi. Selain itu kita dimotivasi secara aktif dan kreatif untuk menelaah bahwa kebudayaan dan pengalaman mempengaruhi persepsi manusia tentang tempat dan wilayah. Dengan demikian tepatlah bahwa geografi dapat dikatakan sebagai ilmu yang dapat membangun karakter bangsa dengan sudut pandang kewilayahan dan keruangan apalagi Negara kita merupakan Negara yang tersebar membentuk gugusan dan hamparan kepulauan yang perlu disatukan dalam sebuah tujuan bersama membangun Indonesia yang kokoh dan tidak terpecahkan meski dipisahkan oleh lautan.
Lautan yang memisahkan pulau dengan pulau lainya justru seharusnya menjadi pemersatu yang kokoh, bentangan alam yang berbeda karakteristik bukan halangan bagi persatuan dan kesatuan Indonesia dalam mewujudkan satu raga dan satu cita cita yaitu Indonesia yang utuh.
Dengan demikian pelajaran geografi adalah pelajaran yang harus dapat mempersatukan karakter antar daerah meski terdapat perbedaan kebiasaan yang sangat dominan ditiap tiap daerah di Indonesia. kita perasukan perbedaan tersebut dengan nurani Bhineka tunggal Ika dan warna yang sama yaitu merah putih.
Sebagaimana kita ketahui dari sejarah geografi tentang kewilayahan dan keruangan yang dapat mempersatukan karakter diantaranya adalah Eratosthenes, Orang yang pertama yang dianggap sebagai peletak dasar pengetahuan tentang bumi ialah Eratosthenes yang hidup 200 tahun sebelum Masehi. Karya tulisnya disebut geographica, yang menguraikan tentang perubahan-perubahan daratan,lautan, gejala-gejala alam di lautan, benda-benda langit berikut jaring-jaring derajat astronomi. Eratosthenes beranggapan bahwa perubahan daratan dan lautan serta gejala gejala lainya di muka Bumi adalah salah satu hal yang harus dipikirkan manusia untuk bersatu membangun karakter tiap tiap daerah atau bangsa.
Dalam pembahasan ini kami berusaha menguraikan peran pengajaran Geografi dalam membangun karakter bangsa dengan teori teori yang relevan sesuai pembahasan.



BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. PENDIDIKAN GEOGFAFI SEBAGAI PENDIDIKAN KARAKTER
Secara normatif, tujuan pendidikan nasional bertujuan untuk membangun karakter banga (character building). Hal ini bisa dilihat dari rumusan formal-legal dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakayt, bangsa dan Negara.
Bersandar pada rumusan tersebut, dengan mudah dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan di Indonesia (baca : mata pelajaran di setiap satuan pendidikan) bukan bidang ilmu yang bisa dipisahkan atau terpisah dari kebutuhan dan kepentingan praktis bangsa dan Negara. Lebih luas lagi, pendidikan tidak bisa dipisahkan dari kepentinbgan praktis manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Ketegasan dan penegasan ini sangat penting. Khususnya terkait dengan adanya indikasi, terus menguatnya promosi sebagian ilmuwan yang menyatakan bahwa ilmu adalah bersifat netral dan bisa dipisahkan dari kepentingan. Pandangan positivisme, sebagaimana yang diproklamasikan Aguste Comte (1798-1857) adalah puncak dari pemurnian pengetahuan dari kepentingan . Pandangan ini merupakan awal kelahiran pengetahuan untuk pengetahuan (pure science) yang terpisah dan dipisahkan dari kepentingan praxis . Pada tahap selanjutnya, ideology netralitas sains menjadi sesuatu yang menjadi ideology perjuangan sebagian ilmuwan. Sehingga pada akhirnya, kerap ada kritik “pintar tapi budi pekerti tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat”.
Selain pemikiran netralitas sains, ada kelompok yang mengajukan pandangan yang sebaliknya. Kritikan terhadap netralitas sains itu, diantaranya dikemukakan oleh Jurgen Hubermas. Dalam pandangan Hubermas, pertautan antara kepentingan dan pengetahuan merupakan sebuah keniscayaan, bahkan dalam konteks itulah pengetahuan manusia memiliki nilai praxis dan kemudian manusia menemukan eksistensinya dalam kehidupan nyata .
Dari kelompok terakhir inilah, kemudian lahir kajian mengenai nilai-nilai pendidikan, salah satu diantaranya dalam bidang kajian geografi. Pendidikan geografi, selain memiliki ‘kewajiban formal’ untuk mendukung pada tujuan pendidikan karakter bangsa juga mengandung potensi nilai yang besar dalam memaksimalkan fungsi geografi dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum, Daldjoeni, merinci bahwa ada lima sumbangan pedagogis yang diberikan oleh geografi. Yaitu wawasan dalam ruang, persepsi relasi antar gejala, pendidikan keindahan, kecintaan tanah air, dan saling pengertian internasional.

Dalam berbagai kesempatan, Nursid Sumaatmadja mengedepankan pendapatnya bahwa geografi itu memiliki lima nilai, yakni nilai teoritis, nilai praktis, nilai edukasi, nilai filsafat dan nilai ketuhanan .Geografi memiliki nilai teoritis, yaitu geografi berusaha untuk membaca realitas geosfera yang terjadi dengan membicarakan, membahas, menelaah atau menganalisis fenomena geosfera. Pada sisi kedua, geografi juga memberikan nilai praktis, khususnya dalam memberikan teknik-teknik pembacaan peta, atau membaca medan. Nilai ketiga, geografi memiliki nilai edukatif, baik aspek kognitif, afektif-konatif dan juga psikomotor . Penting untuk penulis kemukakan pula, bahwa nilai edukasi dari geografi yaitu sebagai bagian dari strategi pengembangan sumber daya manusia. Dalam proses pengembangan sumber daya manusia, pendekatan atau strategi yang harus dilakukan yaitu perlu untuk memperhatikan konteks ruang dan kondisi sosial-budaya masyarakat. Pada konteks inilah, peran geografi menjadi sangat penting. Keempat, geografi juga memberikan peran dalam pengembangan nilai filsafat, misalnya dalam memahami hakikat hidup di lingkungan ini. Sistem ekologi, yang kian hari kian meluntur kualitasnya, perlu dipahami sebagai sesuatu hal yang bersifat filosofis. Keberadaan alam yang tidak abadi, aksi manusia dan alam, keberadaan manusia dalam alam adalah beberapa nilai filosofis yang bisa mengemuka sebagai bagian dari pendidikan filsafatnya. Kelima, geografi memiliki nilai Ketuhanan. Sebagai umat manusia, atau sebagai makhluk, yang dikaruniai budi atau akal fikiran, selain kita mengerti tantang apa yang kita pelajari, juga perlu untuk merenungi apa yang telah kita pelajari tersebut.

Sumberdaya manusia untuk kepentingan berbagai hal sangatlah beragam, tergantung pada kepentingan itu sendiri sesuai dengan pembangunan yang akan dijalankan. Dalam hal ini, geografi berusaha untuk untuk mengkaji sumberdaya manusia dari sudut pandang geografi manusia, agar kita tidak hanya mengetahui bahwa geografi selalu diawali dengan konsep lokasi untuk menunjukkan suatu tempat, lebih jauh dari itu untuk memahami sumberdaya manusia yang terdapat di dalamnya.
Geografi manusia sebagai salah satu kajian atau bagian dari geografi yang secara khusus melihat aktivitas manusia yang berhubungan dengan suatu tempat (ruang) dan dapat di amati secara ekonomi, politik, kependudukan, sosial, budaya, dan regional (melalui pedesaan dan perkotaan), sesuai dengan cabang geografi manusia itu sendiri. Tampaknya geografi perlu untuk memahami, mengkaji dengan mengembangkan sumberdaya manusia yang sesuai dengan cabang-cabang geografi manusia dengan tujuan agar sumberdaya manusia menjadi mahluk yang memiliki kualitas yang diharapkan sebagaimana tujuan pendidikan nasional.
Sebelum mengkaji pemahaman geografi sebagai pembangun karakter bangsa, alangkah baiknya melihat kedudukan geografi dan cabang-cabangnya, terutama geografi manusia kemudian kita kaji sumberdaya manusia sebagai pembentuk karakter yang terdapat di dalam cabang-cabang tersebut, sehingga tampak jelas apabila terjadi suatu masalah yang berhubungan dengan manusia dan adanya ketidakcocokan dengan yang kita harapkan. Setelah cabang geografi dapat diketahui, kemudian mengkaji sumberdaya manusia yang terdapat di dalamnya serta bagaimana mengembangkannya sesuai dengan pemahaman geografi manusia sebagai penetu karakter bangsa

B. PEMBAGIAN GEOGRAFI
Geografi sebagai salah satu disiplin ilmu pengetahuan tidak begitu saja terpisah dengan disiplin ilmu-ilmu pengetahuan yang lain, Geografi memerlukan pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk membuat deskripsi mengenai suatu wilayah, tanpa melepaskan diri dari ciri khas geografi, yaitu ilmu yang mempelajari gejala-gejala keruangan di permukaan bumi. Untuk melihat kedudukan geografi di dalam ilmu pengetahuan, sebaiknya mengenal kembali definisi Geografi yang berbunyi, Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena Geosfer dengan sudut pandang kelingkungan atau kewilayahan dalam konteks keruangan (hasil seminar dan lokakarya Peningkatan Kualitas Pengajaran Geografi di Semarang tahun 1988).
Geografi berada pada posisi sentral di dalam sistem ilmu pengetahuan karena berada pada dua bagian ilmu. Di satu pihak sebagai ilmu alam yang mempelajari gejala-gejala keruangan yang bersifat eksak, di lain pihak mempelajari manusia sebagai mahluk sosial.
Geografi dapat pula dikatakan sebagai jembatan ilmu pengetahuan, karena menghubungkan ilmu-ilmu alamiah yang bersifat dengan ilmu-ilmu sosial dan budaya, dengan demikian di mana kedudukan Geografi di dalam ilmu-ilmu tersebut ? apabila kita melihat cakram berikut ini akan tampak bahwa kedudukan geografi berada pada bagian dari ilmu-ilmu alam; ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu budaya (sebenarnya budaya merupakan bagian dari kajian antropologi yang dapat juga dimasukkan sebagai bagian daru ilmu sosial). Kemudian geografi mengembangkan percabangannya sesuai dengan cabang ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu social, menjadi geografi alam (fisis) dan geografi manusia, tetapi secara khusus pada bagian ini hanya menjelaskan geografi manusia, karena menyangkut penjelasan pemahaman sumberdaya manusia dalam geografi.

Geografi dibagi menjadi tiga cabang utama yang meliputi : Geografi Fisik, Geografi Manusia dan Geografi Regional.
Pada awalnya studi Geografi terdiri dari cabang-cabang Geografi yang nampaknya masing-masing berdiri sendiri dengan tidak adanya ikatan satu sama lain. Pada kenyataannya bahwa geografi harus merupakan keterpaduan di antara cabang-cabang tersebut. Untuk menjawab tantangan pembangunan, maka Geografi memerlukan keterpaduan di antara cabang-cabang Geografi yang nampaknya seakan-akan terpisah itu. Dengan demikian, pada hakekatnya Geografi Terpadu merupakan suatu pendekatan dengan memadukan antar cabang Geografi seperti Geografi Fisik dengan Geografi manusia.




1. Geografi Manusia
Geografi Manusia merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Sosial yang mengkaji kegiatan manusia di masyarakat dengan interrelasi antar ilmu-ilmu sosial yang menitik beratkan manusia sebagai obyeknya. Sumaatmadja (1981 : 51) mengemukakan yang menjadi ruang lingkup Ilmu Pengetahuan Sosial adalah :
1) Manusia dalam konteks sosial dengan segala aspek kehidupannya.
2) Gejala dan masalah sosial yang menjadi akibat adanya interrelasi aspek-aspek kehidupan sosial.
3) Penelaahan dan pengkajian sebab-sebab terjadinya gejala dan masalah sosial.
4) Penyusunan alternatif pemecahan masalah sosial sesuai dengan faktor-faktor penyebarannya.
5) Penyusunan alternatif pengembangan kehidupan sosial ke taraf yang lebih tinggi, dengan memperhatikan kualitas lingkungan yang menunjang kehidupan yang bersangkutan.

Masalah sosial yang terjadi di masyarakat memerlukan pemecahan antar bidang-bidang ilmu sosial untuk mencapai tujuan dalam mengisi pembangunan nasional. Masalah sosial dapat timbul oleh masalah sosial dan dapat pula ditimbulkan oleh masalah alam, seperti :
1) Faktor alam (ekologis - geografis). Menyangkut menipisnya sumber daya alam yang tersedia di planet bumi.
2) Faktor biologis. Menyangkut pertumbuhan penduduk yang setiap waktu bertambah memenuhi planet bumi.
3) Faktor budayawi. Perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi yang mempengaruhi kehidupan manusia
4) Faktor social.Kebijaksanaan pemerintah dalam bidang ekonomi dan politik bagi masyarakat.
Dalam memecahkan masalah sosial, bagi Geografi tidak dapat begitu saja dapat melepaskan dengan aspek-aspek keruangan melalui pendekatan-pendekatan geografis. Yang penting untuk mengetahui masalah sosial masalah sosial menurut pandangan Geografi manusia yaitu mengetahui unsur-unsur pokok yang terdiri dari :
1) manusia sebagai individu maupun golongan
2) lingkungan alam
3) hubungan dan pengaruh timbal balik antara manusia dengan alam dan antara manusia dengan manusia.











































BAB III
PEMBAHASAN


Untuk menjelaskan pembasan ini kami kemukakan asumsi teoritik yang diharapkan dapat menjadi landasan yang memperkuat kerangka pemahaman pikir dan analisis. Setidaknya ada 6 (enam) asumsi yang dijadikan sebagai landasan pemikiran dalam mengembangkan wacana ini. Dengan enam asumsi inilah, wacana pentingnya penguatan peran pendidikan geografi dalam pendidikan karakter di Indonesai serta nilai nasionalisme dan kesadaran berkonstitusi menjadi penting.
Pertama, landasan formal-legal, yaitu mengacu pada UU Sisdiknas mengenai tujuan dari pendidikan. Geografi adalah bagian integral dari sistem pembelajaran di Indonesia. Dengan kata lain, pendidikan geografi pun memiliki tugas nyata dalam mendukung usaha pengembangan karakter bangsa, termasuk pengembangan nilai-nilai nasionalisme dan kesadaran berkonstitusi. Dalam Standar Isi Pelajaran Geografi, misalnya dituliskan bahwa fungsi georgafi itu adalah untuk menumbuhkan sikap, kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan hidup dan sumber daya serta toleransi terhadap keragaman sosial-budaya masyarakat.
Kedua, teori yang dikemukakan Nursid Sumaatmadja, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, yaitu nilai teoritis, nilai praktis, nilai edukasi, nilai filsafat dan nilai ketuhanan. Kendati dalam konteks analisis, kelima aspek ini dipisahkan antara satu dengan yang lainya, namun dalam prakteknya dapat bermuncul secara bersamaan.
Ketiga, peristiwa alam atau fenomena geosfera merupakan ‘bentuk manajemen’ alam. Dalam pandangan Seroso Adi Yudianto, manajemen alam merupakan sumber pendidikan nilai. Dalam pandangan Yudianto, alam memiliki struktur dan perilaku yang kaya untuk dijadikan sebagai sumber pendidikan nilai. Terkait dengan hal ini, struktur dan perilaku alam itu adalah bagian penting dari struktur dan perilaku fenomena geosfera yang menjadi kajian geografi. Pandangan ini sejalan dengan pandangan Nursid Sumaatmadja tentang nilai-nilai geografi.

Keempat, landasan filosofis, tentang pentingnya nilai praktis dari ilmu pengetahuan. Pandangan ini, penulis rujukan pada pemikiran Jurgen Hubermas. Meminjam analisis Hubermas, pengetahuan, ilmu pengetahuan dan ideologi merupakan tiga hal yang saling bertautan dan ketiganya terkait dengan praktis kehidupan sosial manusia. Bila pengetahuan dan atau ilmu pengetahuan terpisah dari praktis, akan menyebabkan manusia terasing dengan dirinya, dan lingkungannya.

Kelima, yaitu posisi pendidikan sebagai bagian dari sistem rekayasa sosial. Transformasi sosial juga memerlukan sebuah teknik dan strategi yang relevan dengan karakter sosial itu sendiri. Menurut Brameld, kekuatan yang paling kapabel untuk melakukan kontrol sosial dan tranformasi sosial adalah pendidikan. Maka dengan demikian, setelah dia merujuk pada pemikirannya Francis Bacon (yang menyatakan knowledge is power) mengatakan ‘education as power’ . Dengan kata lain, pendidikan dapat dijadikan sebagai sarana rekayasa social menuju tatanan yang diharapkan. Melalui pendidikan ini, Indonesia dapat membangun karakter bangsa yang bertanggungjawab terhadap diri, masyarakat dan negara. Untuk melakukan pembenahan ini, perlu diawali dari perubahan mindset. Senada dengan pemikiran ini. Perubahan ini hanya bisa dilakukan melalui pendidikan, salah satu diantaranya dilakukan melalui pendidikan geografi.
Terakhir, yaitu adanya tantangan bangsa untuk melakukan pembinaan dan penataan kehidupan social. Ada sejumlah tantangan besar, yang perlu mendapat perhatian seksama dari kalangan geograf, dan atau pengajaran geografi di satuan pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah maupun perguruan tinggi.
Hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan alam dapat mencerminkan tingkat penyesuaian dan penguasaan manusia terhadap lindungan alam (R. Bintarto, 1977 : 24).
Faktor alam yang dapat menjadikan masalah sosial bagi Geografi disebabkan adanya pengaruh manusia, karena :
1) kemajuan dan teknik manusia
2) aktifitas daya mencipta (budaya) dan keuletan manusia sehingga kedudukannya berubah dari manusia sederhana menjadi manusia yang maju.
Faktor biologis yang merupakan perkembangan penduduk dunia dapat dikaji oleh Geografi melalui daya dukung suatu wilayah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia untuk mencapai kesejahteraan hidup.
Faktor budaya, merupakan hasil karya cipta manusia yang dapat mengubah lingkungan hidup agar dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup yang berada di wilayah bersangkutan.
Faktor ruang, sebagai tempat tinggal manusia diubah oleh manusia untuk kepentingan bersama, tetapi ruang sebagai lingkungan hidup tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan adakalanya merugikan kepentingan manusia yang terdapat di dalamnya.
Manusia sebagai mahluk yang paling berperan di permukaan bumi, merupakan hal yang penting untuk dijelaskan, karena manusia dapat mengubah permukaan bumi sesuai dengan kehendaknya, dengan demikian bahwa kajian Geografi manusia adalah : Aspek keruangan dari gejala-gejala di permukaan bumi dengan manusia sebagai obyek pokok, termasuk aspek kependudukan, aspek kegiatan-kegiatannya seperti ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dengan kata, lain bahwa Geografi manusia mempelajari aspek keruangan gejala-gejala yang terdapat di permukaan bumi yang mengambil manusia sebagai obyek pokok, termasuk ke dalamnya aspek kependudukan, aspek aktivitas sosial, aspek aktivitas budaya, aspek aktivitas ekonomi dan aspek aktivitas politik. Dipandang dari segi Geografi aktivitas ini mempunyai kaitan yang erat dengan lingkungan fisiknya. Adapun ilmu pengetahuan dan cabang-cabang Geografi Manusia

Peran pelajaran geografi
Geografi adalah mata pelajaran yang ada di kurikulum pendidikan Indonesia, baik pada tingkat pendidikan dasar (SMP/MTs), maupun pendidikan menengah (SMA/MA). Ditinjau dari hakikat geografi, dan atau objek material geografi, pelajaran ini memiliki posisi strategis dalam membangun kesadaran masyarakat majemuk.. Melalui wacana ini, dijelaskan mengenai asumsi empiris, sekaligus peluang-peluang strategis dalam meningkatkan peran geografi dalam membangun masyarakat demokrasi yang matang dalam suasana kehidupan masyarakat yang beragam.

Secara pribadi, khususnya sebagai guru geografi, kerap merasa kaget dan aneh, mengapa pendidikan di Indonesia kurang mendapat respon dengan baik. Alih-alih menjadi model pembelajaran unggulan, malah untuk mewacanakan pun masih merupakan sesuatu yang jarang terdengar. Wacana pendidikan karakter selama ini, bila tidak menjadi wacana elit di tingkat akademik, juga hanya ada di ruang seminar. Sementara dalam praktek pendidikannya, kita masih belum mampu menunjukkan budaya pendidikan multicultural.
Pada sisi lain, bila dicermati dengan baik, banyak aspek yang terkait dengan kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat mendukung usaha pengembangan pendidikan multicultural. Bukan hanya realitas kebijakan politik, tetapi juga realitas social dan objek material pembelajaran itu sendiri, khususnya bidang studi geografi yang diajarkan di lembaga pendidikan formal .
Sebagai bagian dari tanggungjawab akademik dan juga penguatan wacana dihadapan kita semua, kiranya perlu dilakukan pembahasan yang mendetil mengenai potensi pendidikan multicultural dan kebutuhannya dalam usaha membangun masyarakat Indonesia masa depan. Indonesia tidak akan mampu menjadi sebuah Negara besar, manakala gagal mengelola potensi social bangsanya sendiri. Indonesia tidak mungkin menjadi bangsa yang unggul, kalau melupakan modal social yang besar yang ada di masyarakat.
Seiring hal ini, kebutuhan untuk mengembangkan pendidikan berbasis potensi social menjadi kebutuhan mendesak. Pengembangan KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan) yang ada selama ini, belum membangkitkan kesadaran mengenai pentingnya pengembangan pendidikan karakteristik bangsa. Padahal, salah prinsip pengembangan KTSP yaitu tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan daerah atau kebutuhan local, minimalnya kebutuhan satuan pendidikan. Oleh karena itu, pengembangan model pendidikan berorientasi karakteristik pada dasarnya merupakan salah satu bentuk akomodatifnya kurikulum pendidikan dalam paradigma KTSP .
Setidak ada dua prinsip pengembangan KTSP yang perlu dicermati dengan baik, pertama prinsip Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Dalam Panduan Penyusunan KTSP (2006), dinyatakan bahwa :
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik.
Prinsip kedua, yang sesuai dengan pembahasan kita, yaitu prinsip relevan dengan kebutuhan hidup. Dalam Panduan Penyusunan KTSP (2006), ditegaskan bahwa :
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional.
Nyata sudah bahwa, pengembangan KTSP harus memperhatikan aspek realitas kehidupan masyarakat, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam konteks ini, wacana ini mengandung keyakinan bahwa realitas dan kebutuhan masyarakat Indonesia yang mendesak saat ini, yaitu realitas plural dan butuh system pendidikan yang mampu mendukung usaha pengembangan tata kehidupan di masyarakat plural (majemuk). Untuk menjawab ini, maka pendidikan multicultural adalah salah satu alternative model pendidikan yang sesuai dengan KTSP dan bahkan menjadi kebutuhan nasional.
Seiring hal ini, pada kesempatan ini, akan dikemukakan beberapa argument teoritik dan empiric berdasarkan sudut pandangan geografi. Mudah-mudahan, melalui uraian ini, kita dapat menemukan pelajaran penting mengenai makna dan urgensinya pendidikan karakterisstik di Indonesia.


Untuk menggenapkan analisis dan menguatkan kebutuhan untuk optimalisasi peran dan nilai geografi dalam pembinaan karakter bangsa dan kesadaran berkonstitusi, dapat dikemukakan beberapa kondisi ril kebangsaan yang menyebabkan terpuruknya karakter kebangsaan dan tatanan social bangsa Indonesia

Pertama, kebijakan otonomi daerah menyebabkan lahirnya kebanggaan pada daerah. Otonomi daerah di Indonesia menstimulasi pemikiran dan kesadaran daerah yang lebih menguat dibandingkan dengan kesadaran-kesadaran kebangsaan. Hal ini bisa dilihat dari seringnya muncul ide, pri-non pri, daerah-pusat, putra daerah, atau jawa – luar jawa.
Dalam proses politik pasca reformasi, isu-isu tersebut menguat seiring dengan fluktuasi politik aliran di Indonesia. Kendati tidak menjadi mainstream politik di Indonesia, namun perilaku nyata masyarakat kita maish terus menunjukkan indikasi perilaku-perilaku yang mengutamakan nilai kebanggaan daerah dibandingkan dengan kebanggaan kebangsaannya, Indonesia.

Kedua, kelanjutan dari proses ini, muncullah fenomena teritorialisasi geopolitik di Indonesia. Indonesia yang terbentang dari ujung Sabang sampai Merauke, kemudian dikapling-kapling secara politik oleh ‘persepsi dan kepentingan’ politik elit daerah di Indonesia. Dalam pemilihan umum (pemilu) legislatif misalnya, ada rebutan wilayah konstituen, dan dalam pilkada ada isu pri-nonpri atau jawa – luar jawa. Hal ini merupakan bentuk nyata dari proses teritorialisasi geopolitik atau dalam istilah lain ada proses deteritorialisasi geopolitik Keindonesiaan menjadi kapling-kapling geopolitik lokal .

Ketiga, orientasi pembangunan Indonesia masih berpusat pada pusat-pusat daerah. Secara nasional, pembangunan masih bersifat di pulau Jawa. Secara lokal, pembangunan masih terfokus pada pusat pemerintahan. Sementara daerah-daerah pinggiran atau daerah perbatasan, kurang mendapat perhatian yang seksama, baik dari pemerintah pusat maupun Pemerintah Daerah. Bila hal ini dibiarkan terjadi, atau tidak dibenahi, maka potensi konflik daerah perbatasan akan memicu masalah bangsa dan administrasi wilayah Indonesia.

Keempat, masih seringnya terjadi penyelundupan kekayaan alam negara kepada negara lain secara ilegal. Praktek inipun diperparah lagi dengan tindakan penebangan liar, perambahan hutan, dan perusakan lingkungan. Akibat nyata dari tindakan ini, bukan hanya menyebabkan indonesia mengalami kerugian materi, namun kerugian ekologi dan martabat kebangsaan. Perilaku itu merupakan bentuk nyata dari ‘lemahnya’ rasa tanggungjawab pelaku terhadap geografi Indonesia, masa depan bangsa dan ekologi Indonesia.
Selain hal-hal tersebut, masih ada masalah yang tidak diungkap di sini, namun perlu diperhatikan. Mulai dari identivikasi keanekaragaman dan eksplorasi kekayaan alam dan sampai pada penataaan tata ruang Indonesia. Semua hal itu, merupakan bagian penting yang perlu mendapat perhatian kalangan geografi. Namun demikian, dengan uraian tersebut pun sudah menjadi jelas, bahwa salah satu masalah bangsa dan kebangaan ini adalah membangun kecintaan terhadap geografi Indonsia itu sendiri.
Berdasarkan hal-hal tersebut, jelas sudah bahwa kondisi ril saat ini menuntut dan menantang guru geografi dan geograf Indonesia untuk memberikan kontribusi nyata terhadap penataan karakter bangsa dan atau anak bangsa, menuju warga negara yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakayt, bangsa dan Negara.

Masalah-masalah yang dikemukakan di atas merupakan masalah besar bagi bangsa Indonesia. Masalah ini memang bukan hanya tanggungjawab geograf atau geografi, namun menjadi tanggungjawab seluruh elemen bangsa Indonesia. Oleh karena itu, dalam konteks ini, wacana ini ingin menekankan bahwa geografi perlu melakukan reposisi peran dan fungsi dalam usaha-usaha pendidikan nasionalisme dan kesadaran berkonstitusi.
Untuk mewujudkan hal itu, ada beberapa alternatif pemecahan masalah yang dapat dijadikan pertimbangan dalam meningkatkan peran dan fungsi geografi dalam pembinaan karakter bangsa, khususnya nilai nasionalisme dan kesadaran berkonstitusi.
Pertama, sesuai dengan karakter geografi yaitu mempelajari keanekaragaman fenomena geosfera, maka geografi harus mampu menjadi pelopor pengembangan pendidikan multikultural . Melalui pendidikan ini, geografi memiliki bahan dasar tentang objek material geografi yaitu tentang kebhinnekaan potensi bangsa, sekaligus membangkit kesadaran warga negara tentang bhinneka tunggal ika. Oleh karena itu, pendekatan pendidikan multikultural menjadi penting dalam proses pendidikan geografi.
Kedua, selaras dengan perkembangan kebijakan pendidikan, khususnya yaitu adanya otonomi pendidikan, maka setiap satuan pendidikan diberi kewenangan untuk mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Peluang ini perlu dimanfaatkan oleh para guru dilapangan untuk mengembangkan kurikulum pendidikan geografi dengan berorientasi pada pendidikan nilai. Setiap ajuan pengajaran geografi, diharapkan dapat menyertakan tujuan pendidikan nilai geografi itu sendiri. Sehingga pada akhirnya, pendidikan geografi di satuan pendidikan tidak hanya bersifat kognitif, namun mampu memberikan kesadaran geografis, dan keterampilan geografis bagi peserta didik.
Ketiga, pembelajaran geografi harus mampu mendorong tiga aspek pembelajaran peserta didik. Geografi harus mampu mendorong siswa memiliki pengetahuan geografik (geographic knowledge), sikap geografik (geographic attittude), dan keterampilan geografik (geographic skill). Dalam kelompok pengetahuan geografik, seseorang dapat menggambarkan, mengetahui, mendata, mengumpulkan, menganalisis, dan merekonstruksi fenomena geografi. Sedangkan dalam sikap geografik, orang dituntut bisa hidup beradaptasi, dinamis, dan interaksi mutualis dalam keanekaragaman dan kedinamikaan alam. Kemudian, yang dimaksud dengan keterampilan geografik yaitu kemampuan seseorang untuk menjadikan geografi sebagai pengetahuan praktis dalam merekayasa kehidupan. Dalam keterampilan ini, seseorang perlu dibekali dengan geografi teknik atau teknik rekayasan geografi sehingga mampu melakukan konservasi dan rehabilitasi alam dan kealaman.
Praktek pengajaran yang ada berkembang saat ini baru sampai pada transfer pengetahuan geografi, dua aspek yang lainnya belum banyak tersentuh. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila kemudian melahirkan anak didik yang tidak memahami cara hidup di alam terbuka dan di dalam kota. Kasus anak-anak yang mati lemas ketika melakukan jelajah alam, membuang sampah sembarangan, menjual kekayaan alam kepada bangsa asing secara ilegal, membuat kerusakan alam, adalah contoh nyata dari lemahnya sikap geografik dan keterampilan geografik. Kasus itu merupakan indikasi tidak maksimalnya nilai pengajaran geografi, sekaligus lemahnya kesadaran dan kecintaan terhadap kekayaan serta keanekaragaman alam Indonesia.
Keempat, sebagai kelanjutan dari itu semua, maka perlu ada perubahan pemaknaan terhadap istilah geogafi itu sendiri. Selama ini, geografi lebih dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari fenomena geosfera dari sudut kelingkungan dan kewilayahannya dalam konteks keruangan. Definisi ini seolah telah menjadi baku, menjadi pegangan umum para guru dalam melakukan pengajaran. Dalam konteks ini, kita harus sedikit menggeser ke aras definisi geografi yang partisipastif. Dengan definisi ini, maka geografi perlu dipahami sebagai sarana pembelajaran dalam memberikan pengetahuan, kesadaran dan keterampilan hidup dalam dinamkika dan keanekaragam fenomena geosfera. Penekanan pada ‘sarana pembelajaran’ ini, diharapkan mendorong para guru dan ahli geografi untuk terus meningkatkan peran dan fungsi geografi bagi pembelajaran berkelanjutan kepada anak didik, bukan hanya memahami anekaragam fenomena geosfera namun bisa adaptasi dan dinamis hidup dalam keanekaragaman hidup itu sendiri.
Pembelajaran hidup rukun dan adaptable terhadap dinamika keanekaragam kehidupan merupakan modal penting dalam meningkatkan nilai nasionalisme dan kesadaran berkonstitusi. Objek material geografi merupakan bahan dasar untuk menumbuhkan kesadaran terhadap kekayaan alam Indonesia. Selanjutnya pembelajaran geografi dituntut untuk mampu merangsang, mendorong, meningkatkan dan mengembangkan sikap rasa cinta, peka, peduli dan tanggungjawab terhadap ekologi Indonesia. Geografi bertanggungjawab untuk menumbuhkembangkan rasa memiliki (sense of belonging) peserta didik terhadap kekayaan dan keadaan alam Indonesia.
Kelemahan kita selama ini, keanekaragaman alam malah menjadi bibit perpecahan dan konflik sosial. Jangan-jangan kesadaran lokal atau kedaerahan itu merupakan hasil pembelajaran geografi yang tidak tuntas, yaitu hanya membicarakan anekaragam fenomena sebagai identitas kelompok, dan bukan pemersatu keutuhan bangsa dan negara. Laut menjadi pemisah pulau dan bukan menjadi pemersatu etnik di Indonesia. Perubahan pemahaman ini mungkin sederhana, namun memiliki nilai yang revolusioner. Karena bila kita salah menjelaskan mengenai fenomena keanekaragaman ini, alih-alih dapat membangkitkan rasa bangga terhadap kekayaan Indonesia, malah menjadi awal dari rebutan kekayaan alam. Oleh karena itu, kita perlu mengalihkan perubahan pembelajaran geografi. Karena sesungguhnya sejalan pandangan Jalaludin Rakhmat, perubahan sosial diawali dari perubahan pola pikir.
Terakhir, untuk meningkatkan kualiltas pembelajaran yang menyeluruh itu, perlu dibudayakan pembelajaran yang bersifat kontekstual. Pembelajaran yang berbasis konteks dan pemecahan masalah (problem-based learning) dapat meningkatkan keterlibatan dan keterpautan sikap siswa terhadap kehidupan sehari-hari.
Penutup
Dengan uraian tersebut, pendidikan geografi secara khusus dan geografi pada umumnya, tidak menjadi sebuah disiplin ilmu yang asyik dengan dunia akademiknya sendiri. Ketika geografi asyik dengan dunia akademiknya, dan tidak peka terhadap masalah lingkungan dan atau tidak mampu mendorong peserta didik mampu hidup dengan lingkungannya sendiri, geografi terancam menjadi ilmu yang autis, yaitu tidak peka dengan dinamika lingkungan dan hanya asyik dengan dunianya sendiri.
Ketika geografi mampu menunjukkan peran nyata dalam kehidupan sehari, dan atau mendorong peserta didik untuk bisa berkiprah dalam kehidupan sehari-hari inilah, maka geografi telah mampu mengembangkan karakternya barunya, yaitu menjadi geografi emansipatoris. Geografi emansipatoris ini, saya maksudkan dengan makna geografi yang mampu memberikan kontribusi nyata pada kehidupan ril, dan mampu mendorong peserta didik mampu hidup rukun, harmonis dan dinamis di lingkungannya.
Dengan kata lain, sudah saatnya para guru menyadari bahwa melalui pendidikan geofrafi sesungguhnya ada peran nyata untuk merekayasa Indonesia dan generasi Indonesai masa depan. Hal ini bergantung pada tangan-tangan tenaga pendidik geografi itu sendiri…


Implementasi Pendidikan Karakter

Upaya untuk mengimplementasikan pendidikan karakter adalah melalui Pendekatan Holistik, yaitu mengintegrasikan perkembangan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Berikut ini ciri-ciri pendekatan holistik (Elkind dan Sweet, 2005).
1. Segala sesuatu di sekolah diatur berdasarkan perkembangan hubungan antara siswa, guru, dan masyarakat
2. Sekolah merupakan masyarakat peserta didik yang peduli di mana ada ikatan yang jelas yang menghubungkan siswa, guru, dan sekolah
3. Pembelajaran emosional dan sosial setara dengan pembelajaran akademik
4. Kerjasama dan kolaborasi di antara siswa menjadi hal yang lebih utama dibandingkan persaingan
5. Nilai-nilai seperti keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelajaran sehari-hari baik di dalam maupun di luar kelas
6. Siswa-siswa diberikan banyak kesempatan untuk mempraktekkan prilaku moralnya melalui kegiatan-kegiatan seperti pembelajaran memberikan pelayanan
7. Disiplin dan pengelolaan kelas menjadi fokus dalam memecahkan masalah dibandingkan hadiah dan hukuman
8. Model pembelajaran yang berpusat pada guru harus ditinggalkan dan beralih ke kelas demokrasi di mana guru dan siswa berkumpul untuk membangun kesatuan, norma, dan memecahkan masalah
Sementara itu peran lembaga pendidikan atau sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan karakter mencakup (1) mengumpulkan guru, orangtua dan siswa bersama-sama mengidentifikasi dan mendefinisikan unsur-unsur karakter yang mereka ingin tekankan, (2) memberikan pelatihan bagi guru tentang bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kehidupan dan budaya sekolah, (3) menjalin kerjasama dengan orangtua dan masyarakat agar siswa dapat mendengar bahwa prilaku karakter itu penting untuk keberhasilan di sekolah dan di kehidupannya, dan (4) memberikan kesempatan kepada kepala sekolah, guru, orangtua dan masyarakat untuk menjadi model prilaku sosial dan moral (US Department of Education).
Mengacu pada konsep pendekatan holistik dan dilanjutkan dengan upaya yang dilakukan lembaga pendidikan, kita perlu meyakini bahwa proses pendidikan karakter tersebut harus dilakukan secara berkelanjutan (continually) sehingga nilai-nilai moral yang telah tertanam dalam pribadi anak tidak hanya sampai pada tingkatan pendidikan tertentu atau hanya muncul di lingkungan keluarga atau masyarakat saja. Selain itu praktik-praktik moral yang dibawa anak tidak terkesan bersifat formalitas, namun benar-benar tertanam dalam jiwa anak.

Bagaimana Peran Pendidik dalam Membentuk Karakter SDM?
Pendidik itu bisa guru, orangtua atau siapa saja, yang penting ia memiliki kepentingan untuk membentuk pribadi peserta didik atau anak. Peran pendidik pada intinya adalah sebagai masyarakat yang belajar dan bermoral. Lickona, Schaps, dan Lewis (2007) menguraikan beberapa pemikiran tentang peran pendidik, di antaranya:
1. Pendidik perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil inisiatif sebagai upaya membangun pendidikan karakter
2. Pendidik bertanggungjawab untuk menjadi model yang memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi siswa-siswanya. Artinya pendidik di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.
3. Pendidik perlu memberikan pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh melalui kerjasama dan berpartisipasi dalam mengambil keputusan
4. Pendidik perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin untuk memastikan bahwa siswa-siswanya mengalami perkembangan karakter.
5. Pendidik perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.
Hal-hal lain yang pendidik dapat lakukan dalam implementasi pendidikan karakter (Djalil dan Megawangi, 2006) adalah: (1) pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran yang melibatkan partisipatif aktif siswa, (2) pendidik perlu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, (3) pendidik perlu memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good, dan (4) pendidik perlu memperhatikan keunikan siswa masing-masing dalam menggunakan metode pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan 9 aspek kecerdasan manusia. Agustian (2007) menambahkan bahwa pendidik perlu melatih dan membentuk karakter anak melalui pengulangan-pengulangan sehingga terjadi internalisasi karakter, misalnya mengajak siswanya melakukan shalat secara konsisten.
Berdasarkan penjelasan di atas, saya mencoba mengkategorikan peran pendidik di setiap jenis lembaga pendidikan dalam membentuk karakter siswa. Dalam pendidikan formal dan non formal, pendidik (1) harus terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu melakukan interaksi dengan siswa dalam mendiskusikan materi pembelajaran, (2) harus menjadi contoh tauladan kepada siswanya dalam berprilaku dan bercakap, (3) harus mampu mendorong siswa aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran yang variatif, (4) harus mampu mendorong dan membuat perubahan sehingga kepribadian, kemampuan dan keinginan guru dapat menciptakan hubungan yang saling menghormati dan bersahabat dengan siswanya, (5) harus mampu membantu dan mengembangkan emosi dan kepekaan sosial siswa agar siswa menjadi lebih bertakwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan dan belajar soft skills yang berguna bagi kehidupan siswa selanjutnya, dan (6) harus menunjukkan rasa kecintaan kepada siswa sehingga guru dalam membimbing siswa yang sulit tidak mudah putus asa.
Sementara dalam pendidikan informal seperti keluarga dan lingkungan, pendidik atau orangtua/tokoh masyarakat (1) harus menunjukkan nilai-nilai moralitas bagi anak-anaknya, (2) harus memiliki kedekatan emosional kepada anak dengan menunjukkan rasa kasih sayang, (3) harus memberikan lingkungan atau suasana yang kondusif bagi pengembangan karakter anak, dan (4) perlu mengajak anak-anaknya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, misalnya dengan beribadah secara rutin.
Berangkat dengan upaya-upaya yang pendidik lakukan sebagaimana disebut di atas, diharapkan akan tumbuh dan berkembang karakter kepribadian yang memiliki kemampuan unggul di antaranya: (1) karakter mandiri dan unggul, (2) komitmen pada kemandirian dan kebebasan, (3) konflik bukan potensi laten, melainkan situasi monumental dan lokal, (4) signifikansi Bhinneka Tunggal Ika, dan (5) mencegah agar stratifikasi sosial identik dengan perbedaan etnik dan agama (Jalal dan Supriadi, 2001: 49-50).









PERAN PENDIDIKAN SEBAGAI
MODAL UTAMA MEMBANGUN KARAKTER BANGSA
Oleh H. Suyatno
Pendahuluan
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar karena didukung oleh sejumlah fakta positif yaitu posisi geopolitik yang sangat strategis, kekayaan alam dan keanekaragaman hayati, kemajemukan sosial budaya, dan jumlah penduduk yang besar. Oleh karena itu, bangsa Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi bangsa yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat. Namun demikian, untuk mewujudkan itu semua, kita masih menghadapi berbagai masalah nasional yang kompleks, yang tidak kunjung selesai. Misalnya aspek politik, di mana masalahnya mencakup kerancuan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan, kelembagaan Negara yang tidak efektif, sistem kepartaian yang tidak mendukung, dan berkembangnya pragmatism politik. Lalu aspek ekonomi, masalahnya meliputi paradigm ekonomi yang tidak konsisten, struktur ekonomi dualistis, kebijakan fiskal yang belum mandiri, sistem keuangan dan perbankan yang tidak memihak, dan kebijakan perdagangan dan industri yang liberal. Dan aspek sosial budaya, masalah yang terjadi saat ini adalah memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan, disorientasi nilai keagamaan, memudarnya kohesi dan integrasi sosial, dan melemahnya mentalitas positif (PP Muhammadiyah, 2009: 10-22).
Dari sejumlah fakta positif atas modal besar yang dimiliki bangsa Indonesia, jumlah penduduk yang besar menjadi modal yang paling penting karena kemajuan dan kemunduran suatu bangsa sangat bergantung pada faktor manusianya (SDM). Masalah-masalah politik, ekonomi, dan sosial budaya juga dapat diselesaikan dengan SDM. Namun untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut dan menghadapi berbagai persaingan peradaban yang tinggi untuk menjadi Indonesia yang lebih maju diperlukan revitalisasi dan penguatan karakter SDM yang kuat. Salah satu aspek yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan karakter SDM yang kuat adalah melalui pendidikan.
Pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat, dan berakhlak mulia baik dilihat dari aspek jasmani maupun ruhani. Manusia yang berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi sangat dituntut untuk dibentuk atau dibangun. Bangsa Indonesia tidak hanya sekedar memancarkan kemilau pentingnya pendidikan, melainkan bagaimana bangsa Indonesia mampu merealisasikan konsep pendidikan dengan cara pembinaan, pelatihan dan pemberdayaan SDM Indonesia secara berkelanjutan dan merata. Ini sejalan dengan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah“… agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Melihat kondisi sekarang dan akan datang, ketersediaan SDM yang berkarakter merupakan kebutuhan yang amat vital. Ini dilakukan untuk mempersiapkan tantangan global dan daya saing bangsa. Memang tidak mudah untuk menghasilkan SDM yang tertuang dalam UU tersebut. Persoalannya adalah hingga saat ini SDM Indonesia masih belum mencerminkan cita-cita pendidikan yang diharapkan. Misalnya untuk kasus-kasus aktual, masih banyak ditemukan siswa yang menyontek di kala sedang menghadapi ujian, bersikap malas, tawuran antar sesama siswa, melakukan pergaulan bebas, terlibat narkoba, dan lain-lain. Di sisi lain, ditemukan guru, pendidik yang senantiasa memberikan contoh-contoh baik ke siswanya, juga tidak kalah mentalnya. Misalnya guru tidak jarang melakukan kecurangan-kecurangan dalam sertifikasi dan dalam ujian nasional (UN). Kondisi ini terus terang sangat memilukan dan mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia yang telah merdeka sejak tahun 1945. Memang masalah ini tidak dapat digeneralisir, namun setidaknya ini fakta yang tidak boleh diabaikan karena kita tidak menginginkan anak bangsa kita kelak menjadi manusia yang tidak bermoral sebagaimana saat ini sering kita melihat tayangan TV yang mempertontonkan berita-berita seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan, korupsi, dan penculikan, yang dilakukan tidak hanya oleh orang-orang dewasa, tapi juga oleh anak-anak usia belasan.
Mencermati hal ini, saya mencoba memberikan beberapa gagasan untuk penguatan mutu karakter SDM sehingga mampu membentuk pribadi yang kuat dan tangguh. Pembahasan ini akan mengacu pada peran pendidikan, terutama pendidik sebagai kunci keberhasilan implementasi pendidikan karakter di sekolah dan lingkungan baik keluarga maupun masyarakat.

Kenapa Pendidikan?
Pendidikan merupakan hal terpenting untuk membentuk kepribadian. Pendidikan itu tidak selalu berasal dari pendidikan formal seperti sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan informal dan non formal pun memiliki peran yang sama untuk membentuk kepribadian, terutama anak atau peserta didik. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 kita dapat melihat ketiga perbedaan model lembaga pendidikan tersebut. Dikatakan bahwa Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sementara pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Sedangkan pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Kegiatan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan dalam bentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Memperhatikan ketiga jenis pendidikan di atas, ada kecenderungan bahwa pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan non formal yang selama ini berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Mereka tidak saling mendukung untuk peningkatan pembentukan kepribadian peserta didik. Setiap lembaga pendidikan tersebut berjalan masing-masing sehingga yang terjadi sekarang adalah pembentukan pribadi peserta didik menjadi parsial, misalnya anak bersikap baik di rumah, namun ketika keluar rumah atau berada di sekolah ia melakukan perkelahian antarpelajar, memiliki ’ketertarikan’ bergaul dengan WTS atau melakukan perampokan. Sikap-sikap seperti ini merupakan bagian dari penyimpangan moralitas dan prilaku sosial pelajar (Suyanto dan Hisyam, 2000: 194).
Oleh karena itu, ke depan dalam rangka membangun dan melakukan penguatan peserta didik perlu menyinergiskan ketiga komponen lembaga pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah pendidik dan orangtua berkumpul bersama mencoba memahami gejala-gejala anak pada fase negatif, yang meliputi keinginan untuk menyendiri, kurang kemauan untuk bekerja, mengalami kejenuhan, ada rasa kegelisahan, ada pertentangan sosial, ada kepekaan emosional, kurang percaya diri, mulai timbul minat pada lawan jenis, adanya perasaan malu yang berlebihan, dan kesukaan berkhayal (Mappiare dalam Suyanto dan Hisyam, 2000: 186-87). Dengan mempelajari gejala-gejala negatif yang dimiliki anak remaja pada umumnya, orangtua dan pendidik akan dapat menyadari dan melakukan upaya perbaikan perlakuan sikap terhadap anak dalam proses pendidikan formal, non formal dan informal.

Ciri Karakter SDM
SDM merupakan aset paling penting untuk membangun bangsa yang lebih baik dan maju. Namun untuk mencapai itu, SDM yang kita miliki harus berkarakter. SDM yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental yang berbeda dengan orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, ketegaran, kekuatan dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat unik lainnya yang melekat dalam dirinya.
Secara lebih rinci, saya kutip beberapa konsep tentang manusia Indonesia yang berkarakter dan senantiasa melekat dengan kepribadian bangsa. Ciri-ciri karakter SDM yang kuat meliputi (1) religious, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang taat beribadah, jujur, terpercaya, dermawan, saling tolong menolong, dan toleran; (2) moderat, yaitu memiliki sikap hidup yang tidak radikal dan tercermin dalam kepribadian yang tengahan antara individu dan sosial, berorientasi materi dan ruhani serta mampu hidup dan kerjasama dalam kemajemukan; (3) cerdas, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju; dan (4) mandiri, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi, hemat, menghargai waktu, ulet, wirausaha, kerja keras, dan memiliki cinta kebangsaan yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan universal dan hubungan antarperadaban bangsa-bangsa (PP Muhammadiyah, 2009: 43-44).

Pendidikan Karakter
Berbicara pembentukan kepribadian tidak lepas dengan bagaimana kita membentuk karakter SDM. Pembentukan karakter SDM menjadi vital dan tidak ada pilihan lagi untuk mewujudkan Indonesia baru, yaitu Indonesia yang dapat menghadapi tantangan regional dan global (Muchlas dalam Sairin, 2001: 211). Tantangan regional dan global yang dimaksud adalah bagaimana generasi muda kita tidak sekedar memiliki kemampuan kognitif saja, tapi aspek afektif dan moralitas juga tersentuh. Untuk itu, pendidikan karakter diperlukan untuk mencapai manusia yang memiliki integritas nilai-nilai moral sehingga anak menjadi hormat sesama, jujur dan peduli dengan lingkungan.
Lickona (1992) menjelaskan beberapa alasan perlunya Pendidikan karakter, di antaranya: (1) Banyaknya generasi muda saling melukai karena lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral, (2) Memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika banyak anak-anak memperoleh sedikit pengajaran moral dari orangtua, masyarakat, atau lembaga keagamaan, (4) masih adanya nilai-nilai moral yang secara universal masih diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan tanggungjawab, (5) Demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan dari, untuk dan oleh masyarakat, (6) Tidak ada sesuatu sebagai pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain, (7) Komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan terus menjadi guru yang baik, dan (7) Pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah lebih beradab, peduli pada masyarakat, dan mengacu pada performansi akademik yang meningkat.
Alasan-alasan di atas menunjukkan bahwa pendidikan karakter sangat perlu ditanamkan sedini mungkin untuk mengantisipasi persoalan di masa depan yang semakin kompleks seperti semakin rendahnya perhatian dan kepedulian anak terhadap lingkungan sekitar, tidak memiliki tanggungjawab, rendahnya kepercayaan diri, dan lain-lain. Untuk mengetahui lebih jauh tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter, Lickona dalam Elkind dan Sweet (2004) menggagas pandangan bahwa pendidikan karakter adalah upaya terencana untuk membantu orang untuk memahami, peduli, dan bertindak atas nilai-nilai etika/ moral. Pendidikan karakter ini mengajarkan kebiasaan berpikir dan berbuat yang membantu orang hidup dan bekerja bersama-sama sebagai keluarga, teman, tetangga, masyarakat, dan bangsa.
Pandangan ini mengilustrasikan bahwa proses pendidikan yang ada di pendidikan formal, non formal dan informal harus mengajarkan peserta didik atau anak untuk saling peduli dan membantu dengan penuh keakraban tanpa diskriminasi karena didasarkan dengan nilai-nilai moral dan persahabatan. Di sini nampak bahwa peran pendidik dan tokoh panutan sangat membantu membentuk karakter peserta didik atau anak.

Implementasi Pendidikan Karakter
Upaya untuk mengimplementasikan pendidikan karakter adalah melalui Pendekatan Holistik, yaitu mengintegrasikan perkembangan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Berikut ini ciri-ciri pendekatan holistik (Elkind dan Sweet, 2005).
9. Segala sesuatu di sekolah diatur berdasarkan perkembangan hubungan antara siswa, guru, dan masyarakat
10. Sekolah merupakan masyarakat peserta didik yang peduli di mana ada ikatan yang jelas yang menghubungkan siswa, guru, dan sekolah
11. Pembelajaran emosional dan sosial setara dengan pembelajaran akademik
12. Kerjasama dan kolaborasi di antara siswa menjadi hal yang lebih utama dibandingkan persaingan
13. Nilai-nilai seperti keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelajaran sehari-hari baik di dalam maupun di luar kelas
14. Siswa-siswa diberikan banyak kesempatan untuk mempraktekkan prilaku moralnya melalui kegiatan-kegiatan seperti pembelajaran memberikan pelayanan
15. Disiplin dan pengelolaan kelas menjadi fokus dalam memecahkan masalah dibandingkan hadiah dan hukuman
16. Model pembelajaran yang berpusat pada guru harus ditinggalkan dan beralih ke kelas demokrasi di mana guru dan siswa berkumpul untuk membangun kesatuan, norma, dan memecahkan masalah
Sementara itu peran lembaga pendidikan atau sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan karakter mencakup (1) mengumpulkan guru, orangtua dan siswa bersama-sama mengidentifikasi dan mendefinisikan unsur-unsur karakter yang mereka ingin tekankan, (2) memberikan pelatihan bagi guru tentang bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kehidupan dan budaya sekolah, (3) menjalin kerjasama dengan orangtua dan masyarakat agar siswa dapat mendengar bahwa prilaku karakter itu penting untuk keberhasilan di sekolah dan di kehidupannya, dan (4) memberikan kesempatan kepada kepala sekolah, guru, orangtua dan masyarakat untuk menjadi model prilaku sosial dan moral (US Department of Education).
Mengacu pada konsep pendekatan holistik dan dilanjutkan dengan upaya yang dilakukan lembaga pendidikan, kita perlu meyakini bahwa proses pendidikan karakter tersebut harus dilakukan secara berkelanjutan (continually) sehingga nilai-nilai moral yang telah tertanam dalam pribadi anak tidak hanya sampai pada tingkatan pendidikan tertentu atau hanya muncul di lingkungan keluarga atau masyarakat saja. Selain itu praktik-praktik moral yang dibawa anak tidak terkesan bersifat formalitas, namun benar-benar tertanam dalam jiwa anak.

Bagaimana Peran Pendidik dalam Membentuk Karakter SDM?
Pendidik itu bisa guru, orangtua atau siapa saja, yang penting ia memiliki kepentingan untuk membentuk pribadi peserta didik atau anak. Peran pendidik pada intinya adalah sebagai masyarakat yang belajar dan bermoral. Lickona, Schaps, dan Lewis (2007) serta Azra (2006) menguraikan beberapa pemikiran tentang peran pendidik, di antaranya:
6. Pendidik perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil inisiatif sebagai upaya membangun pendidikan karakter
7. Pendidik bertanggungjawab untuk menjadi model yang memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi siswa-siswanya. Artinya pendidik di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.
8. Pendidik perlu memberikan pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh melalui kerjasama dan berpartisipasi dalam mengambil keputusan
9. Pendidik perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin untuk memastikan bahwa siswa-siswanya mengalami perkembangan karakter.
10. Pendidik perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.
Hal-hal lain yang pendidik dapat lakukan dalam implementasi pendidikan karakter (Djalil dan Megawangi, 2006) adalah: (1) pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran yang melibatkan partisipatif aktif siswa, (2) pendidik perlu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, (3) pendidik perlu memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good, dan (4) pendidik perlu memperhatikan keunikan siswa masing-masing dalam menggunakan metode pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan 9 aspek kecerdasan manusia. Agustian (2007) menambahkan bahwa pendidik perlu melatih dan membentuk karakter anak melalui pengulangan-pengulangan sehingga terjadi internalisasi karakter, misalnya mengajak siswanya melakukan shalat secara konsisten.
Berdasarkan penjelasan di atas, saya mencoba mengkategorikan peran pendidik di setiap jenis lembaga pendidikan dalam membentuk karakter siswa. Dalam pendidikan formal dan non formal, pendidik (1) harus terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu melakukan interaksi dengan siswa dalam mendiskusikan materi pembelajaran, (2) harus menjadi contoh tauladan kepada siswanya dalam berprilaku dan bercakap, (3) harus mampu mendorong siswa aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran yang variatif, (4) harus mampu mendorong dan membuat perubahan sehingga kepribadian, kemampuan dan keinginan guru dapat menciptakan hubungan yang saling menghormati dan bersahabat dengan siswanya, (5) harus mampu membantu dan mengembangkan emosi dan kepekaan sosial siswa agar siswa menjadi lebih bertakwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan dan belajar soft skills yang berguna bagi kehidupan siswa selanjutnya, dan (6) harus menunjukkan rasa kecintaan kepada siswa sehingga guru dalam membimbing siswa yang sulit tidak mudah putus asa.
Sementara dalam pendidikan informal seperti keluarga dan lingkungan, pendidik atau orangtua/tokoh masyarakat (1) harus menunjukkan nilai-nilai moralitas bagi anak-anaknya, (2) harus memiliki kedekatan emosional kepada anak dengan menunjukkan rasa kasih sayang, (3) harus memberikan lingkungan atau suasana yang kondusif bagi pengembangan karakter anak, dan (4) perlu mengajak anak-anaknya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, misalnya dengan beribadah secara rutin.
Berangkat dengan upaya-upaya yang pendidik lakukan sebagaimana disebut di atas, diharapkan akan tumbuh dan berkembang karakter kepribadian yang memiliki kemampuan unggul di antaranya: (1) karakter mandiri dan unggul, (2) komitmen pada kemandirian dan kebebasan, (3) konflik bukan potensi laten, melainkan situasi monumental dan lokal, (4) signifikansi Bhinneka Tunggal Ika, dan (5) mencegah agar stratifikasi sosial identik dengan perbedaan etnik dan agama (Jalal dan Supriadi, 2001: 49-50).

Penutup
Sebagai penutup, saya simpulkan bahwa pembentukan karakter SDM yang kuat sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan global yang lebih berat. Karakter SDM dalam dibentuk melalui proses pendidikan formal, non formal, dan informal yang ketiganya harus bersinergis. Untuk menyinergiskan, peran pendidik dalam pendidikan karakter menjadi sangat vital sehingga anak didik atau SDM Indonesia menjadi manusia yang religius, moderat, cerdas, dan mandiri sesuai dengan cita-cita dan tujuan pendidikan nasional serta watak bangsa Indonesia.


Daftar Pustaka
Agustian, Ary Ginanjar. Membangun Sumber Daya Manusia dengan Kesinergisan antara Kecerdasan Spiritual, Emosional, dan Intelektual. Pidato Ilmiah Penganugerahan Gelar Kehormatan Doctor Honoris Causa di Bidang Pendidikan Karakter, UNY 2007.
Azra, Azyumardi. Agama, Budaya, dan Pendidikan Karakter Bangsa. 2006
Djalil, Sofyan A. dan Megawangi, Ratna. Peningkatan Mutu Pendidikan di Aceh melalui Implementasi Model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter. Makalah Orasi Ilmiah pada Rapat Senat Terbuka dalam Rangka Dies Natalis ke 45 Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, 2 September 2006.
Elkind, David H. dan Sweet, Freddy. How to Do Character Education. Artikel yang diterbitkan pada bulan September/Oktober 2004.
Jalal, Fasli dan Supriadi, Dedi. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001.
Lickona, Thomas, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books, 1992.
Lickona, Tom; Schaps, Eric, dan Lewis, Catherine. Eleven Principles of Effective Character Education. Character Education Partnership, 2007.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa. Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 2009.
Sairin, Weinata. Pendidikan yang Mendidik. Jakarta: Yudhistira, 2001
Suyanto dan Hisyam, Djihad. Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III: Refleksi dan Reformasi. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000.
Suyatno; Sumedi, Pudjo, dan Riadi, Sugeng (Editor). Pengembangan Profesionalisme Guru: 70 Tahun Abdul Malik Fadjar. Jakarta: UHAMKA Press, 2009.
U. S. Department of Education. Office of Safe and Drug-Free Schools. 400 Maryland Avenue, S.W. Washington, DC.








a) Ilmu Ekonomi - Geografi Ekonomi
Ekonomi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari usaha-usaha manusia untuk mencapai kemakmuran serta gejala-gejalanya dan hubungan timbal balik dari usaha tersebut. Ekonomi tercatat sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, pada pertengahan ke 2 abad XVIII (Adam Smith), ajaran-ajaran pokoknya meliputi : Bentuk-bentuk harga, penyebaran pendapatan, kesempatan kerja, keuangan, perdagangan international serta pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Sampai akhir abad XIX perkembangan ekonomi sebagai ilmu pengetahuan terutama ditandai dengan munculnya berbagai pemikiran yang berbeda dan kadang-kadang bertentangan. Pada abad XX tampak ada penerimaan secara ekonomi. Pada dasarnya ekonomi perusahaan termasuk dalam pengertian ilmu ekonomi. bagian-bagian lain dari proses ekonomi dipelajari oleh ekonomi umum (sering juga disebut sosial). Dewasa ini pengetahuan ekonomi tergantung kepada ilmu pasti dan statistik.
Geografi Ekonomi membahas bagaimana manusia mengeksploitasi sumberdaya alam, menghasilkan barang dagangan, juga pola lokasi dan persebaran kegiatan industri serta seluk beluk komunikasi.

b) Ilmu Politik - Geografi Politik
Pada umumnya bahwa politik adalah kegiatan pada suatu negara yang berhubungan dengan proses untuk menentukan tujuan-tujuan yang telah dipilih oleh suatu negara dalam rangka mencapai tujuan yang akan dicapai oleh negara itu sendiri. Untuk mencapai tujuan suatu negara, maka akan melibatkan pengambilan keputusan dari pemimpin suatu negara, Kebijaksanaan-kebijaksanaan umum yang menyangkut pembagian dan pengaturan suatu sumberdaya yang ada di suatu negara. Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan suatu negara, maka diperlukan suatu kekuasaan dan kewenangan. Bahwa politik senantiasa menyangkut kepentingan umum atau kepentingan seluruh warga negara dan bukan tujuan pribadi dari seseorang, apabila disimpulkan dari pengertian di atas maka politik senantiasa menyangkut : Negara, Kekuasaan, Pengambilan keputusan, Kebijaksanaan dan pembagian atau alokasi.
Ilmu Politik hubungannya dengan Geografi, menyangkut perbatasan strategis, desakan penduduk, daerah pengaruh- mempengaruhi politik.
Geografi politik mempelajari unit-unit politik, wilayahnya, perbatasan serta ibukotanya dengan unsur-unsur kekuatan nasional dan politik international, kesemuanya ditinjau dari segi geografis.
Selain dari Geografi Politik, dikenal pula Geopolitik, yang keduanya sangat berbeda dalam memberikan pengertian terhadap suatu fenomena politik di dalam suatu ruang. Geografi Politik menekankan terhadap aspek - aspek Geografi dalam fenomena Politik, sedangkan Geopolitik memusatkan perhatiannya secara subyektif maupun obyektif mengenai dampak faktor-faktor Geografi terhadap kehidupan politik, sedangkan Geografi politik mengutamakan dampak tingkah laku manusia terhadap tata ruang di permukaan bumi.
Agar lebih jelasnya kita lihat perbedaan antara Geografi Politik dengan Geopolitik, menurut Iman Hidayat dan Mardiyono (1983 : 32 - 34) sebagai berikut :
(1) Geografi politik merupakan cabang dari Geografi manusia, sedangkan Geopolitik merupakan ilmu semu (pseudo Science) yang berdiri sendiri, perbedaan ini berdasarkan kepada penglihatan sistimatika keilmuan.
(2) Dilihat dari segi tugas atau fungsinya, bahwa Geografi Politik mendekati obyeknya dari adanya jumlah negara-negara. Geopolitik mendekati obyeknya (permukaan bumi) dengan mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari penelitian Geografi Politik. Dengan demikian maka Geografi Politik berusaha untuk memperoleh data dan fakta-fakta dari obyeknya, sedangkan Geopolitik berusaha menggunakan atau mendayagunakan data dari Geografi Politik untuk menyusun suatu konsepsi Geopolitik. Dengan demikian bahwa Geopolitik merupakan kelanjutan dari Geografi Politik.
(3) Dengan adanya perbedaan tugas ini, timbul pula perbedaan sifat. Para ahli mengatakan bahwa Geografi Politik bersifat statis, sedangkan Geopolitik bersifat dinamis. Sifat dinamisnya ini bagi Geopolitik, terutama bagaimana cara mengaplikasikan hasil geografi Politik.
(4) Geografi Politik memperoleh data tersebut dengan menggunakan pikiran yang berpusat pada satu obyek. Tetapi Geopolitik menggunakan pikiran secara globali-sasi, sehingga terbentuk suatu suatu konsepsi Geopolitik yang berdasarkan kepada perhitungan-perhitungan yang cermat dari semua data mengenai semua bidang.
(5) Dari segi pendekatan terdapat juga perbedaan. Geografi Politik mendekati obyeknya pada suatu negara yang ada. Geopolitik mendekati Obyeknya yaitu permukaan bumi dengan memperhitungkan keadaan Geografi. Dengan demikian bahwa konsep Geografi politik berisi suatu konsepsi yang penuh dengan dan fakta dari data yang diperoleh dari keadaan negara tertentu. tetapi Geopolitik mengabungkan data dan fakta tersebut dengan data dan fakta yang berasal dari negara lain. dari hasil perpaduan tersebut maka disusun suatu Geopolitik melalui suatu Geostrategi sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan demi kepentingan bangsa yang bersangkutan.
Apabila ditinjau dari segi pembahasannya maka Geopolitik merupakan kelanjutan dan Geografi politik.

c) Demografi - Geografi Penduduk
Demografi adalah ilmu yang mempelajari persoalan dan keadaan perubahan-perubahan penduduk atau dengan perkataan lain segala hal ihwal yang berhubungan dengan komponen- komponen perubahan tersebut, seperti : Kelahiran, kematian, migrasi, sehingga menghasilkan suatu keadaan dan komposisi penduduk menurut umur dan kenis kelamin tertentu. (Moh. Yasin)
Tujuan-tujuan dan penggunaan Demografi :
(1) Mempelajari kuantitas dan distribusi penduduk dalam suatu daerah tertentu.
(2) Menjelaskan pertumbuhan penduduk masa lampau, penurunannya dan persebarannya dengan sebaik-baiknya dan dengan data yang tersedia.
(3) Mengembangkan hubungan sebab-akibat antara perkembangan penduduk dengan bermacam-macam aspek organisasi sosial.
(4) Mencoba meramalkan pertumbuhan penduduk di masa yang akan datang dan kemungkinan-kemungkinan konsekwensinya.
Sedangkan Geografi penduduk merupakan kajian mengenai demografi dengan sudut pandang keruangan dan kewilayahan, adapun definisi dari Geografi Penduduk, sebagai berikut : Geografi Penduduk adalah cabang disiplin Geograrfi yang membicarakan variasi-variasi kualitas ruang dalam demografi dan non demografi dari penduduk manusia dan konsekwensi-konsekwensi sosial dan ekonomi yang berasal dari rangkaian interaksi dengan suatu rangkaian khusus dari kondisi-kondisi yang terdapat di dalamnya yang diberikan oleh duatu unit atau daerah (Demco, 1970). Adapun definisi Geografi Penduduk menurut Clarke, sebagai berikut: “Bahwa Geografi penduduk dihubungkan dengan Kenampakan bagaimana variasi-variasi ruang di dalam distribusi komposisi perpindahan dan pertumbuhan penduduk yang dihubungkan dengan variasi-variasi sifat keruangan dari tempat-tempat atau daerah”.
Dari definisi tersebut, maka dapat disimpulkan, bahwa yang menjadi ruang lingkup Geografi Penduduk, sebagai berikut :
(1) Identifikasi konsep dan definisi Geografi Penduduk.
(2) Hubungan Geografi Penduduk dengan ilmu-ilmu lain, khususnya secara langsung dengan Geografi dan Demografi yang merupakan sumber data dari Geografi Penduduk.
(3) Teori-teori kependudukan.
(4) Proses-proses Demografi.


d) Geografi Pemukiman
Pemukiman biasanya merupakan suatu komunitas terkecil dari suatu masyarakat, apabila pemukiman tersebut berada di kota besar berarti merupakan karakteristik dari geografi. Pemukiman- pemukiman penduduk yang lain dapat bula berada di sepanjang jalan di wilayah pedesaan atau berada di jalan yang letaknya strategis di pegunungan, pinggir sungai, pinggir jalan kereta maupun di pinggir pantai. Sebelum terbentuknya pemukiman biasa didahului oleh keadaan rumah yang keadaanya menarik dengan bentuk dan fungsi sesuai dengan jenis pekerjaan pemiliknya, lama-kelamaan muncul rumah-rumah lain yang saling bertetangga dan semakin komplek sehingga sulit melihat bentuk dan fungsi dari latar belakang setiap pemilik rumah-rumah tersebut. Pada akhirnya muncul suatu pemukiman yang tidak teratur dan tidak direncanakan sebelumnya. Pola pemukiman yang berada di kota-kota yang ada di Indonesia pada umumnya mengikuti sisttem kota kolonial, di mana pusat kota biasanya berupa alun-alun, yang dikelilingi oleh pemukiman para pamongpraja, tempat peribadatan, penjara, kantor pemerintah, pasar dan tempat kegiatan penduduk yang lain. Adanya pemukiman di pusat kota biasanya merupakan simbol status dari pemiliknya. Pemukiman yang berada di kota ada juga yang mengikuti lokasi tempat kerja dari pemiliknya. Semakin berkembang dan meluasnya kota, maka pemukiman semakin ke pinggiran dengan tujuan untuk menghindari kebisingan dan keamanan.
Pemukiman yang berada di pinggiran kota-kota besar selalu dilengkapi dengan sarana transportasi, pasar untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga sehari-hari, Bank, Kantor Pos, tempat peribatan, sarana pendidikan dan tidak mengherangkan bahwa pemukiman yang berada di pinggiran kota besar ini dekat dekat dengan lokasi industri, sehingga akan menimbulkan masalah-masalah lingkungan bagi pemukiman itu sendiri.
Dengan demikian, bentuk dan fungsi pemukiman baik yang berada di pedesaan maupun di kota - kota besar merupakan kajian Geografi manusia, karena menyangkut persebaran penghuninya dengan tempat ia bekerja, maupun aktifitas lain yang mendukung pemukiman tersebut.
Geografi pemukiman ini dapat diintegrasikan ke dalam Geografi Kota maupun geografi desa, karena kedua cabang Geografi tersebut sama-sama di dalamnya membahas pemukiman penduduk.

e) Antropologi - Antropogeografi - Geografi Budaya
Antropologi adalah ilmu pengetahuan tentang manusia, baik fisik maupun kebudayaannya. Antropologi mempelajari manusia, baik yang ada pada masa sekarang, maupun manusia yang pernah hidup pada jaman dahulu dan mereka tersebar di seluruh dunia, sedangkan kajian antropologi sendiri terdiri dari berbagai aspek yang terdapat pada kehidupan manusia, yang berupa, fisik, psikologi, sosial, sistem politik, kesenian, kekerabatan, filsafat, dan agama.
Secara garis besarnya Antropologi terbagi menjadi dua bagian kajian utama, yaitu (1)Antropologi Budaya yang mempelajari, (a) sejarah kebudayaan manusia semenjak jaman purba, (b) perkembangan bahasa, dan (c) perilaku dan berbagai kebudayaan di dunia. (2) Antropologi Ragawi yang mempelajari evolusi, ras, dan perkembangan mahluk permata, yang mencakup manusia.
Antropologi sekarang ini semakin berkembang lebih jauh, dengan adanya gabungan dengan ilmu - ilmu sosial yang lain, sehingga dapat memperkaya antropologi sendiri.
Antropogeografi pertama kali diperkenalkan oleh Ratzel, dengan melihat kehidupan manusia dan kebudayaannya ditentukan oleh alam. Antropogeografi semakin berkembang, yang akhirnya tidak lagi melihat manusia dan kebudayaannya merupakan produk alam, melainkan persebaran manusia dan kebudayaannya, dengan demikian bahwa antropogeografi adalah studi hubungan antara manusia dan lingkungannya, khususnya lokasi tentang pemukiman mereka. Pengembaraan orang Eropa ke seluruh dunia yang dimulai pada abad 15 membuka cakrawala baru dalam ilmu pengetahuan tentang ragam manusia. Jika pada awalnya orang Eropa hanya tertarik pada pada kebudayaan dan keadaan fisik manusia yang berada di belahan bumi bagian timur, yang kemudian bahwa fisik manusia di suatu region yang luas ada hubungannya dengan kondisi alam setempat, maka disebut sebagai ciri geografis, sedangkan ciri - ciri setempat dari region yang lebih kecil, maka disebut sebagai ciri lokal. Ciri geografis ini ternyata tumpang tindih dengan ciri ras, namun antropogeografi lebih menitik beratkan pada persebaran ciri atau jarak jangkauan migrasi manusia yang mempunyai ciri tertentu atau menunjukkan jarak kekerabatan antar populasi. Di antara region yang luas ini terdapat suatu rintangan alam yang sangat sulit untuk ditembus.
Akibat dari mikroevolusi yang terlalu lama, maka setiap region mempunyai ciri yang berbeda dengan region yang lain. Walaupun rintangan alam yang sukar ditembus, tetapi beberapa kelompok manusia dengan pikiran dan teknologinya dapat juga menembus rintangan alam tersebut, sehingga di antara region terdapat daerah-daerah yang memiliki ciri-ciri populasi, seperti di benua Amerika terdapat orang Indian yang memiliki ciri-ciri mongolid, sedangkan ciri ras mongolid tersebar hampir di seluruh benua Asia. Di dunia ini terdapat lima region yang berhubungan dengan ras manusia.
a) Region Asia Timur dan Tenggara yang didiami oleh orang mongolid dengan ciri lokal Siberid, Teungid, Sinid dan Melayu Indonesia.
b) Region Asia Barat dan Selatan, Afrika Utara dan Eropa didiami oleh ras manusia yang memiliki ciri lokal Indid, Armenid, Arabid dan Orientalid di Asia; Hamitid, dan Berberid di Afrika; Mediteranid, Dinarid, Alpinid dan Baltid di Eropa.
c) Region Afrika yang berada di sebelah selatan Gurun Sahara didiami oleh ras manusia Negrid yang memiliki ciri lokal Nilotid, Eunegrid, Bambutid, Kapid dan Malagasi.
d) Region Amerika yang didiami oleh ras manusia Indianid yang memiliki kekerabatan erat dengan mongolid, mereka ini memiliki ciri lokal Lagid, Pasifid, Patagonid, Andid, Brasilid dan Feugid.
e) Region Australia dan Kepulauan Pasifik yang didiami oleh Australo-melanesid dengan ciri lokal Australid, Tasmanid (dianggap telah punah), Melanesoid dan Mikronesid.
Dari ke lima ciri-ciri lokal yang tersebar di seluh dunia, terdapat pula ras manusia yang memiliki ciri lokal terpencil seperti Eskimid, Ainuid, dan Negrito. Selain itu terdapat pula populasi manusia yang memiliki ciri lokal ras campuran seperti Arafurid, Veddid, Dravidid, Turanid, Lappid, Siberid, Malid dan Ethiopid.
Geografi Budaya, mengkaji proses-proses kebudayaan sehubungan dengan konteks spatial, karena kebudayaan yang terdapat di bumi ini merupakan karakteristik dari suatu wilayah beserta manusia sebagai pendukungnya. Dengan demikian, Geografi Budaya merupakan aplikasi dari ide-ide kebudayaan terhadap terhadap masalah-masalah geografi (Wagner & Mikesell). Kebudayaan yang menjadi perhatian bagi pakar geografi, meliputi komponen-komponen kebudayaan, evolusi kebudayaan, wilayah kebudayaan, bentang budaya dan difusi kebudayaan. Sekarang ini geografi budaya menjadi lebih berkembang dengan adanya perhatian terhadap pengaruh bentang alam terhadap inovasi serta difusi kebudayaan, estetika dan nilai serta lingkungan.

f) Sosiologi - Geografi Sosial
Sosiologi dikatakan juga ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan sosial. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga sosial, kelompok- kelompok serta lapisan-lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama, umpamanya pengaruh timbal balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi kehidupan politik, antara segi kehidupan hukum dan segi kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dan segi kehidupan ekonomi dan lain sebagainya. Salah satu proses sosial yang bersifat tersendiri ialah dalam hal terjadinya perubahan-perubahan di dalam struktur sosial.
Geografi Sosial dengan Geografi manusia ada yang memberikan pengertian sama, hal ini disebabkan oleh pengertian dan kajian dari Geografi manusia itu sendiri mengenai interaksi dalam kehidupan manusia serta aktivitasnya di suatu wilayah, oleh adanya perbedaan dan persamaan dengan wilayah-wilayah yang lain yang menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam konteks keruangan. dengan demikian Geografi sosial di sini tidak sama dengan Geografi sosial dalam arti Geografi manusia, melainkan Geografi sosial dalam arti sempit yang banyak menggunakan pendekatan sosiologi sebagai kajiannya. Dengan demikian, Geografi sosial adalah : Ilmu Geografi yang secara khusus mempelajari lingkungan manusia di dalamnya terdapat proses, struktur dan perubahan sosial sehingga memiliki kesamaan dan perbedaan dengan wilayah lain dalam konteks keruangan.

g) Geografi Desa - Geografi Kota
Desa merupakan perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis, sosial, ekonomi, politis dan budaya yang terdapat di dalamnya, saling berhubungan, ada pengaruh timbal balik dengan daerah daerah lain.
Unsur-unsur desa meliputi :
(1) Daerah : mencakup tanah yang produktif maupun yang tidak produktif beserta penggunaaannya, termasuk juga unsur lokasi, luas dan batas yang merupakan lingkungan geografis setempat.
(2) Penduduk : meliputi jumlah, pertumbuhan, kepadatan, penyebaran dan mata pencahariannya.
(3) Tata Kehidupan : merupakan tata pergaulan dan ikatan-ikatan pergaulan warga desa.
Fungsi desa terdiri dari :
(1) dalam hubungannya dengan kota, maka fungsi desa yang merupakan hinterland, berfungsi sebagai daerah pemberi bahan makanan pokok, seperti jagung, beras, ketela disamping bahan makanan lain dari hewan.
(2) desa ditinjau dari sudut potensi ekonomi berfungsi sebagai lumbung "raw material" dan lumpung "man power" yang tidak kecil artinya.
(3) dari segi kegiatan kerjanya, desa dapat merupakan desa agraris, desa nelayan dan lain-lain.
Geografi desa mempelajari ciri, pola struktur, lingkungan dan interaksi keruangan dari penduduk desa yang berhubungan dengan sosial budaya desa dalam menunjang aktivitas primer yang terdapat dalam sistem kehidupan desa dalam hubungannya dengan wilayah-wilayah lain.
Kota adalah suatu pemusatan keruangan dari tempat tinggal dan tempat kerja manusia, kegiatan umumnya di sektor sekunder dan tersier, dengan pembagian kerja ke dalam dan arus lalu lintas yang beraneka antara bagian-bagian dan pusatnya, yang pertumbuhannya sebagian besar disebabkan oleh tambahan kaum pendatang dan mampu melayani kebutuhan barang dan jasa bagi wilayah yang jauh letaknya.
John R. Short (Daldjoeni, 1987 : 35-36) mengemukan empat pendekatan dalam memahami dan mempelajari kota berdasarkan kajian geografi.
(1) Pendekatan Ekologis secara khusus menelaah bagian-nagian kota yang disebut bilangan (neighbourhood) serta pola spatial dari struktur masrakatnya. Dari sini lahirlah yang disebut dengan model konsentris dari Burgess. Sejak itu ekologi manusia diterapkan dalam membahas kehidupan kota.
(2) Pendekatan neo-klasik atau otonomi politik. Untuk memahami persebaran tata guna lahan di dalam kota bertalian dengan pemaksimalan pemanfaatannya yang menguntungkan bagi masyarakat penghuninya.
(3) Pendekatan keprilakuan behavioristis. Menyangkut persepsi manusia kota terhadap kota sehingga mempengaruhi pengambilan keputusan terhadap sesuatu.
(4) Pendekatan strukturalistik. Di sini kota dan gejala sosial. Keputusan yang diambil oleh para individu dianggap muncul dari proses sosial-ekonomis yang berstruktur dengan latar belakang lingkungan yang khas.

A. SUMBERDAYA MANUSIA
Kesejahteraan bangsa Indonesia erat kaitannya dengan kualitas sumberdaya manusia (SDM), tetapi bagi bangsa Indonesia di Asia Tenggara hal ini berada di bawah negara-negara lain, sehingga perlu untuk meningkatkan kualitas tersebut dan bangkit dari keterpurukan ekonomi yang terjadi semenjak krisis di tahun 1997.

TABEL 1. Peringkat (IPM) (indeks pembangunan manusia)
versi UNDP. 2005 bagi negara-negara ASEAN
Peringkat Negara
1
2
3
4
5
6
7
8 Singapura
Brunei
Malaysia
Thailand
Filipina
Vietnam
Indonesia
Laos

Tampaknya IPM urutan ke 7 di antara negara-negara ASEAN merupakan hal yang sangat menyedihkan, sehingga perlu untuk bangkit mengejar ketertinggalan tersebut, tetapi bagaimana caranya ? hal ini perlu dipikirkan bersama di antaranya melalui pemahaman geografi manusia.
Rendahnya IPM selalu dihubungkan dengan adanya kemiskinan di berbagai lapisan masyarakat, yang tidak semata-mata miskin harta tetapi juga miskin pengetahuan, keterampilan, moral, semangat, disiplin, dan lain-lain, akibatnya menjadi sulit untuk bangkit mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain. Karena itu, untuk memperbaiki kemiskinan di antaranya melalui pendidikan dan latihan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga masyarakat akan memiliki kemampuan untuk memecahkan masalahnya sendiri.
Berikut ini, beberapa pemahaman untuk meningkatkan sumberdaya manusia yang diperlukan,

1. Kependudukan
Kesejahteraan suatu bangsa sangat erat kaitannya dengan masalah kependudukan. Indonesia pada saat ini memiliki jumlah penduduk yang besar. Konsekuensi penduduk yang besar seperti pengadaan sumber-sumber pangan kian meningkat, sehingga apabila masalah pangan tidak teratasi akan berakibat pada menurunnya kesejahteraan penduduk. Terdapat tiga hal yang berkaitan dengan masalah kesejahteraan, yakni sumber daya alam, peralatan teknologi dan sumber daya manusia. Hal terakhir inilah yang mempunyai peranan terpenting. Sumber daya alam yang ada tidak akan bermanfaat tanpa ada yang mengelolanya dan teknologi tidak dapat digunakan apabila tidak ada manusia yang mempergunakannya. Keterlibatan manusia seperti demikianlah, sehingga sumber daya manusia menjadi bagian yang terpenting.
Sumber daya manusia adalah semua potensi yang berhubungan dengan data kependudukan yang dimiliki oleh suatu daerah/negara yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sumber daya manusia itu harus memadai, baik dilihat dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas. Segi kuantitas berkaitan dengan jumlah, pertumbuhan dan susunan. Ketiga ini disebut faktor-faktor demografis. Sedangkan kualitas dilihat dari tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, dan kemampuan sumber daya manusia ini disebut faktor-faktor sosial atau non-demografis.

a. Sumberdaya Manusia Indonesia
Faktor demografis dipergunakan untuk melukiskan keadaan sumber daya manusia, seperti jumlah dan kepadatan penduduk, pertumbuhan penduduk dan susunan (komposisi) penduduk. Pengertian penduduk (population) adalah semua orang yang bertempat tinggal pada suatu daerah tertentu dalam waktu tertentu. Untuk mengetahui jumlah penduduk dapat dilakukan beberapa cara, seperti sensus penduduk (cacah jiwa), registrasi atau pencatatan penduduk, dan survey penduduk. Sensus diartikan sebagai penghitungan penduduk suatu negara dengan cara mengumpulkan, menghimpun dan menyusun data penduduk atau semua orang pada waktu tertentu di wilayah tertentu. Registrasi merupakan kumpulan keterangan mengenai kelahiran, kematian dan segala kejadian penting manusia, misalnya pengangkatan anak, perkawinan, perceraian dan perpindahan penduduk. Survey adalah pencacahan penduduk dengan cara mengambil contoh daerah yang dianggap mewakili seluruh wilayah negara tersebut. Survey biasanya dilakukan di antara dua sensus, sedangkan registrasi dapat dilakukan setiap waktu.
Pelaksanaan sensus di Indonesia dilakukan oleh lembaga pemerintah yang bernama Biro Pusat Statistik (BPS). Sensus penduduk di Indonesia diadakan sepuluh tahun sekali. Sensus pertama pada tahun 1930 diadakan oleh pemerintahan Belanda. Mulai sensus kedua dan selanjutnya dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, yakni mulai tahun 1961, 1971, 1980, 1990 dan tahun 2000. Tahun 1940 terjadi Perang Dunia II, dan tahun 1950 terjadi banyak gangguan keamanan dalam negeri.
Hasil sensus yang dilaksanakan menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Pada tahun 1930 hanya 60,7 juta jiwa, Tahun 2005 menjadi 221,9 juta jiwa. Hal ini berarti penduduk Indonesia selama 75 tahun mengalami ledakan 161,2 juta jiwa atau lebih dari 265%.
Dengan jumlah penduduk sekarang ini Indonesia berada pada urutan ke empat di dunia setelah RRChina, India dan Amerika Serikat.

TABEL 2
PERKEMBANGAN PENDUDUK INDONESIA
----------------------------------------------------------
Sensus Tahun Jumlah Penduduk
----------------------------------------------------------
I 1930 60.727.000 jiwa
II 1961 97.985.348 jiwa
III 1971 119.208.229 jiwa
IV 1980 147.490.298 jiwa
V 1990 179.378.946 jiwa
VI 2005 221.900.000 jiwa
-----------------------------------------------------------

1) Jumlah Penduduk Indonesia dan Persebarannya
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa Indonesia memiliki jumlah penduduk yang terbesar keempat di dunia, juga mengalami pertumbuhan penduduk yang tinggi. Ternyata didalam persebarannya pun tidak merata. Artinya pada daerah yang sempit luasnya, namun jumlah penduduk sangat besar, di lain pihak besar luasnya, penduduk kurang. Sebagian besar penduduk Indonesia bertempat tinggal di Pulau Jawa. Padahal, luas pulau ini jauh lebih kecil dibanding Pulau Sumatera atau Kalimantan. Keadaan inilah dari segi perencanaan pembangunan Indonesia kurang menguntungkan. Hal ini dicirikan ketimpangan yang besar antara luas pulau dan jumlah penghuninya. Perhatikan Pulau Jawa dan Kalimantan. Kedua pulau ini mencirikan ketimpangan yang ekstrim antara luas dengan jumlah penduduk. Persentase penduduk di Pulau Jawa lebih tinggi daripada persentase luasnya, sebaliknya Pulau Kalimantan memiliki persentase luas yang jauh lebih tinggi daripada persentase penduduknya. Pulau Jawa menjadi daerah yang padat penduduk, sedangkan Pulau Kalimantan menjadi daerah jarang penduduk. Untuk mengatasi persebaran penduduk yang tidak merata ini telah dilaksanakan program transmigrasi.

2) Kaitan Antara Persebaran Penduduk Dengan Lingkungan Alam
Keadaan lingkungan alam berpengaruh terhadap persebaran penduduk di suatu daerah. Keadaan lingkungan alam dapat berupa pantai, dataran rendah, dataran tinggi dan pegunungan. Persebaran penduduk berkecenderungan ke arah daerah yang datar yaitu daerah pantai dan dataran rendah. Kalau kita lihat sejarah kota-kota di dunia ternyata sebagian besar terletak di daerah pantai. Misalnya, kota Jakarta yang merupakan kota pelabuhan tempo dulu yang sangat ramai. Kota Jakarta kini menjadi kota pelabuhan terbesar di Indonesia. Sebaliknya, persebaran penduduk ke daerah pegunungan jarang sekali. Penduduk yang mendiami daerah pegunungan biasanya petani ladang. Hal ini dikarenakan relief pegunungan yang miring dan berhawa lembab dan dingin. Relief miring lebih memungkinkan terjadi longsor, sehingga apabila mendirikan rumah atau gedung kurang cocok.
Persebaran penduduk dapat pula dipengaruhi oleh kondisi tanah. Tanah yang subur akan lebih memungkinkan pemusatan penduduk. Tanah yang subur dapat diolah dan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan di bidang pertanian atau perekonomian. Pulau Jawa termasuk memiliki tanah yang subur dan sangat baik untuk dijadikan daerah pertanian.
Sumber daya alam turut pula menjadi faktor yang mempengaruhi persebaran penduduk. Daerah yang memiliki sumber daya alam yang banyak akan mendatangkan penduduk. Daerah-daerah pertambangan akan berkembang menjadi daerah yang padat penduduknya.

3) Perbandingan Penduduk Indonesia Dengan Negara-negara Lain di Dunia
Jumlah penduduk Indonesia dibandingkan dengan jumlah penduduk anggota ASEAN adalah yang terbesar, namun Singapura memiliki kepadatan penduduk tertinggi dan Brunei Darussalam memiliki pertumbuhan penduduk terbesar.
Negara-negara maju di dunia dewasa ini adalah Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, Australia dan Jepang. Jumlah penduduk negara-negara ini masih jauh dibawah Indonesia kecuali Amerika Serikat. Sedangkan pertumbuhan penduduk Indonesia lebih tinggi dibanding negara-negara tersebut. Pertumbuhan penduduk yang tinggi ini hendaknya diimbangi oleh tingginya pertumbuhan ekonomi sebagaimana negara-negara maju telah melakukan hal ini.
Di Asia, Indonesia menempati urutan ketiga dalam jumlah penduduknya. Urutan pertama oleh RRC dan kedua oleh India. Tetapi, pertumbuhan penduduk India masih diatas Indonesia.
Pertumbuhan penduduk di negara-negara Afrika umumnya masih sangat tinggi dan masih berada di atas Indonesia. Dalam hal kepadatan penduduk Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan negara di Afrika kecuali Nigeria.

2. Mutu Sumberdaya Manusia Indonesia
Mutu sumber daya manusia dinamakan juga kualitas penduduk suatu bangsa. Secara umum pengertian sumber daya manusia adalah kemampuan manusia (penduduk) untuk mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada demi meningkatkan kesejahteraannya. Semakin tinggi mutu sumber daya manusia, maka semakin tinggi pula didalam kemampuan untuk mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam. Baik tidaknya mutu sumber daya manusia pada suatu negara dapat dilihat dari tingkat pendidikan, tingkat penghasilan dan tingkat kesehatan serta mata pencaharian.



1) Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan dapat diartikan jenjang pendidikan seseorang yang telah ditempuh dan ditamatkan di pendidikan formal (sekolah). Di Indonesia terdapat lima jenjang pendidikan yaitu :
a. Taman Kanak-kanak (TK) bagi yang berusia 3 - 6 tahun
b. Sekolah Dasar (SD) bagi yang berusia 7 - 12 tahun
c. Sekolah Menengah Pertama (SMTP) bagi yang berusia 13 - 15 tahun
d. Sekolah Menengah Atas atau Sekolah menengan Kejuruan (SMA/SMK) bagi yang berusia 16 - 18 tahun
e. Perguruan Tinggi (PT) bagi yang berusia diatas 18 tahun.
SD dan SMTP dikelompokkan sebagai pendidikan dasar, SMTA sebagai pendidikan menengah dan PT sebagai pendidikan tinggi. Sejak tanggal 2 Mei 1984, pemerintah mencanangkan program wajib belajar (wajar) 6 tahun. Artinya setiap penduduk Indonesia diwajibkan mengikuti pendidikan serendah-rendahnya tingkat SD. Dan, sejak tanggal 2 Mei 1994 dicanangkan program wajib belajar 9 tahun, artinya setiap penduduk diwajibkan mengikuti pendidikan serendah- rendahnya SD dan SMTP.
Usaha-usaha pemerintah kita untuk meningkatkan sumberdaya manusia melalui pendidikan, yaitu :
a. Menambah jumlah sekolah berikut fasilitas-fasilitasnya mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi.
b. Menambah jumlah tenaga pendidikan atau guru di semua jenjang pendidikan.
c. Menambah buku-buku pelajaran berikut perpustakaannya.
d. Meningkatkan kualitas guru melalui penataran-penataran.
e. Melaksanakan program wajib belajar 9 tahun secara menyeluruh.

2) Tingkat Penghasilan
Tingkat penghasilan suatu negara diukur dari pendapatan per kapita penduduk negara tersebut. Pendapatan per kapita adalah penghasilan rata-rata penduduk dalam setahun. Pendapatan per kapita diperoleh dari pendapatan nasional kotor dibagi dengan jumlah penduduk.
Rumusnya :


GNP
PCI = -------------
P

PCI (per capita income) = pendapatan per kapita
GNP (gross national product) = pendapatan nasional kotor
P (population) = jumlah penduduk
Semakin tinggi pendapatan per kapita suatu negara, maka kualitas penduduknya semakin tinggi.
Kriteria penggolongan negara berdasarkan pendapatan per kapita, yakni :
a. Negara Sedang Berkembang dengan pendapatan per kapita sebesar
0 s.d. US $ 300.
b. Negara Sedang dengan pendapatan per kapita sebesar
US $ 300 s.d. US $ 1000.
c. Negara Maju dengan pendapatan per kapita sebesar US $ 1000 ke atas.

Penduduk Indonesia pada tahun 2005 dengan persentase hidup di bawah 2 dollar perhari sebanyak 52 %.

3) Tingkat Kesehatan
Tingkat kesehatan penduduk berhubungan dengan masalah kesehatan diri dan kesehatan lingkungan. Tinggi-rendahnya tingkat kesehatan suatu negara dapat dilihat dari besar-kecilnya angka kematian penduduk dan kualitas kesehatan. Kualitas kesehatan yang rendah umumnya disebabkan oleh lingkungan yang tidak sehat (kesehatan lingkungan) dan penyakit atau gizi yang rendah (kesehatan diri).
Upaya-upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas kesehatan antara lain :
a. Memperbaiki lingkungan yang buruk.
b. Melaksanakan program perbaikan gizi masyarakat.
c. Menambah tempat-tempat pelayanan kesehatan hingga ke pelosok negeri beserta tenaga medisnya.
d. Melakukan pencegahan dan pemberantasan bibit penyakit.
e. Memberikan penyuluhan-penyuluhan kesehatan secara intensif kepada masyarakat.
Keberhasilan peningkatan kesehatan dapat dibuktikan dengan peningkatan harapan hidup penduduk. Jika pada awal tahun 1970-an penduduk Indonesia mempunyai harapan hidup rata-rata sekitar 50 tahun, maka dalam tahun 1990 harapan hidup itu telah meningkat menjadi lebih dari 61 tahun. Begitu juga dengan angka kematian bayi dapat ditekan. Dalam kurun waktu yang sama angka kematian bayi menurun dari 142 untuk setiap 1000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk setiap 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2005 angka harapan hidup menjadi 68 tahun dan angka kematian bayi menjadi 46 untuk setiap1000 kelahiran.

4) Mata Pencaharian
Faktor mata pencaharian turut pula menentukan kualitas sumberdaya manusia. Mata pencaharian merupakan salah satu usaha penduduk di dalam memenuhi kebutuhan hidup. Mata pencaharian penduduk sangat beraneka ragam. Jenis mata pencaharian terbesar penduduk Indonesia adalah di bidang pertanian. Hal ini disebabkan sebagian besar penduduk bertempat tinggal di daerah pedesaan. Perhatikan tabel 12.
Jenis mata pencaharian penduduk (angkatan kerja) mengalami perkembangan dan pergantian yang bervariasi. Misalnya pada tahun 1971 jenis mata pencaharian (lapangan kerja) sebagian besar adalah bidang pertanian (64,2%). Pada tahun 1980 dan 1990 terjadi penurunan menjadi 54,8% dan 49,3%, namun penurunan ini tidak merubah kedudukan bidang pertanian sebagai yang terbesar. Hanya pada sektor listrik, gas dan air yang perkembangannya relatif tetapi mulai tahun 1971 sebesar 0,1% kemudian meningkat sedikit menjadi 0,2% pada tahun 1990. Peningkatan yang cukup tinggi terjadi pada sektor industri, yakni pada tahun 1971 hanya 6,5% dan sembilan tahun kemudian melonjak menjadi 11,4% sehingga ada peningkatan sebesar 4,9%. Peningkatan ini disebabkan oleh perkembangan teknologi industri yang sangat pesat. Perkembangan ini mencakup alat-alat teknologi yang canggih, lokasi-lokasi industri yang makin banyak dan tenaga-tenaga terampil di sektor industri tersedia cukup banyak.




TABEL 12 :
PERSENTASE ANGKATAN KERJA MENURUT LAPANGAN KERJA
TAHUN 1971, 1980, DAN 1990.
________________________________________
Lapangan Kerja 1971 1980 1990
(Mata Pencaharian) ( % ) ( % ) ( % )
------------------------------------------------------------
1. Pertanian 64,2 54,8 49,3
2. Pertambangan 0,2 0,7 1,0
3. Industri 6,5 9,1 11,4
4. Listrik, Gas, dan
Air 0,1 0,1 0,2
5. Bangunan 1,6 3,2 4,0
6. Perdagangan 10,3 12,0 14,7
7. Angkutan dan Komuni-
kasi 2,3 2,8 3,7
8. Keuangan 0,2 0,6 0,7
9. Jasa-jasa 10,0 13,9 13,5
______________________________________

J u m l a h 100,0 100,0 100,0
______________________________________











Petani sedang menggarap sawah.
c. Perpindahan (mobilitas) Penduduk Indonesia
Perpindahan atau mobilitas penduduk dapat diartikan sebagai migrasi (migration), yaitu berpindahnya penduduk dari satu daerah ke daerah lain. Orangnya disebut migran.
Migrasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
1) Migrasi Internasional adalah perpindahan penduduk antar- negara. Migrasi ini terdiri atas :
a) imigrasi, yakni masuknya penduduk dari negara lain ke dalam suatu negara. Orangnya disebut imigran.
b) emigrasi, yakni keluarnya penduduk dari suatu negara menuju negara lain. Orangnya disebut emigran.
c) remigrasi,yakni kembalinya emigran ke negara asalnya. Orangnya disebut remigran.

Migrasi Internasional kerap kali terjadi di Indonesia. Para migran yang telah lama menetap dan mendapat pengakuan negara Indonesia dikategorikan ke dalam warga negara asing (WNA).

2) Migrasi Nasional atau Internal, adalah perpindahan penduduk yang terjadi di dalam satu negara.
Migrasi Internal di Indonesia terdiri atas :
a) Transmigrasi, yakni perpindahan penduduk dari salah satu pulau untuk menetap di pulau lain dalam wilayah negara Republik Indonesia untuk kepentingan pembangu-nan negara atau alasan-alasan yang dipandang perlu oleh pemerintah (menurut Undang-undang no. 3 tahun 1974).
Penyelenggaraan program transmigrasi di Indonesia sudah berjalan sejak tahun 1905 pada masa pemerintahan kolonial Belanda, yang disebut kolonisasi. Program ini diteruskan pada masa pemerintahan Jepang tahun 1945 dan dinamakan toyosawa. Barulah pada tahun 1950 dilaksanakan program transmigrasi yang pertama sejak Indonesia merdeka.
Jenis-jenis transmigrasi yaitu :
(1) Transmigrasi Umum yang dilakukan dan dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah.
(2) Transmigrasi Swakarsa atau spontan yang dilakukan perorangan dengan biaya sendiri.
(3) Transmigrasi Bedol Desa yang dilaksanakan pemerintah karena daerah itu terkena proyek pembangunan.
(4) Transmigrasi Sektoral yang dilaksanakan pemerintah karena daerah itu terlanda bencana alam.
(5) Transmigrasi Lokal yang dilakukan pemerintah namun terbatas hanya dalam satu propinsi. Contoh : perpindahan diakibatkan gempa bumi di Lampung.
(6) Transmigrasi Swakarsa Mandiri yang dilakukan sepenuhnya atas inisiatif dan biaya pribadinya serta tanpa adanya paksaan.
Tujuan transmigrasi :
(1) Pemerataan penyebaran penduduk.
(2) Meningkatkan taraf hidup transmigran di daerah transmigrasi.
(3) Pemanfaatan sumber daya alam lebih optimal di daerah transmigrasi.
(4) Menyediakan lapangan kerja baru demi kesejahteraan transmigran.
(5) Memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa.
(6) Meningkatkan daya pertahanan dan keamanan nasional
Daerah-daerah transmigrasi (Keppres No. 2 tahun 1972) yakni :
(1) Daerah Regional I di propinsi-propinsi Lampung, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan.
(2) Daerah Regional II di propinsi-propinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
(3) Daerah Regional III di propinsi-propinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.

b) Urbanisasi, yakni perpindahan penduduk dari desa ke kota dengan tujuan menetap. Menetap dalam arti telah bermukim sekurang-kurangnya enam bulan.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya Urbanisasi adalah :
(1) Sumber penghidupan di desa berkurang atau sedikit, sehingga kesempatan bekerja menjadi sempit.
(2) Ada perasaan dalam diri generasi muda di desa tidak dapat mengembangkan karier atau pendapatan yang lebih baik.
(3) Ingin mencari pekerjaan karena di kota lebih terbuka kesempatan.
(4) Ingin melanjutkan pendidikan karena di kota banyak tersedia sarana-sarana pendidikan.
(5) Ingin menikmati hiburan yang beragam di kota.

c) Ruralisasi, yaitu perpindahan penduduk dari kota ke desa dengan tujuan menetap. Ruralisasi merupakan kebalikan dari urbanisasi. Ruralisasi dapat terjadi karena :
(1) Pekerjaan atau mata pencahariannya sudah berhenti dan ingin kembali atau dilanjutkan di tempat asalnya (desa).
(2) Merasa sudah bosan tinggal/hidup di kota dan ingin hidup tenang di desa.
(3) Ingin mengabdi pada desanya, dan penyebab-penyebab lainnya.

1) Pola Mobilitas Penduduk
Pola mobilitas penduduk berdasarkan waktu (lamanya) dapat dibedakan atas 3 macam yakni :
a) Nglaju (comutting) atau perpindahan harian yaitu perpindahan penduduk setiap hari dari desa ke kota atau dari pinggir kota ke pusat kota dengan tujuan bekerja. Misal nya, penduduk yang tinggal di desa pergi ke kota pada pagi hari untuk berdagang dan pulang ke desanya pada sore hari. Hari berikutnya melakukan hal yang sama (rutin) dan seterusnya.
b) Perpindahan musiman, yakni perpindahan penduduk yang dilakukan pada musim-musim tertentu. Misalnya pada musim panen padi di suatu daerah banyak penduduk daerah lain yang datang untuk bekerja menuai padi.
c) Perpindahan penduduk menetap (permanen) yaitu perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain dengan tujuan menetap. Misalnya urbanisasi, transmigrasi dan rura lisasi.

2) Pengaruh Mobilitas Penduduk Terhadap Jumlah dan Mutu Sumberdaya Manusia
Mobilitas penduduk memberikan pengaruh positif dan negatif terhadap suatu daerah. Pengaruh positif dapat berupa berkurangnya jumlah penduduk daerah tersebut sehingga beban daerah dapat dikurangi atau mengurangi jumlah pengangguran. Selain itu pengaruh positifnya berupa peningkatan kesejahteraan keluarga karena beban tanggungan keluarga dapat berkurang. Sedangkan pengaruh negatif mobilitas penduduk dapat terjadi pada daerah yang ditinggalkan dan daerah yang dituju.
Pengaruh negatif terhadap daerah yang ditinggalkan, yaitu :
a) Berkurangnya tenaga kerja yang muda di daerah ini karena yang pergi pada umumnya orang yang muda-muda.
b) Kehilangan tenaga terampil dan potensial yang seharusnya dapat diandalkan sebagai tenaga pembangun.
c) Stabilitas keamanan kurang kuat karena penduduk yang tinggal hanya orang-orang tua dan anak-anak.

Pengaruh negatif terhadap daerah yang dituju, yakni :
a) Daerah tersebut semakin padat penduduknya sehingga tidak menutup kemungkinan meningkatnya jumlah pengangguran.
b) Timbulnya lokasi-lokasi pemukiman kumuh karena semakin bertambahnya penduduk miskin.
c) Bertambahnya penduduk miskin mengakibatkan semakin meningkat jumlah tindak kejahatan.
d) Kenyamanan daerah tersebut semakin menurun karena bertambahnya limbah rumah tangga (sampah).

Untuk mengatasi hal-hal seperti ini, mobilitas penduduk perlu diusahakan agar dapat diperkecil. Usaha-usaha untuk mencegah atau mengurangi pengaruh negatif tersebut di atas, maka perlu dilakukan :
a) Pembangunan lokasi-lokasi industri yang tersebar merata hingga ke desa-desa.
b) Peningkatan pendapatan per kapita masyarakat melalui pengembangan keterampilan berusaha, penerapan teknologi tepat guna dan intensifikasi pertanian.
c) Pembangunan saran transportasi hingga jauh ke pelosok daerah-daerah terpencil sehingga hubungan menjadi lancar
d) Pembangunan jaringan listrik di desa sehingga sarana-sarana hiburan seperti radio, TV, atau bioskop dapat terselenggara dengan sebaik-baiknya.
e) Pembangunan sarana-sarana pendidikan berupa sekolah atau tempat kursus sehingga daya pikir masyarakat dan skill dapat ditingkatkan.
f) Pembangunan sarana-sarana kesehatan dan sarana lainnya.

3) Hubungan Mobilitas Penduduk Dengan Perkembangan Jaringan Perhubungan dan Pengangkutan
Jaringan perhubungan dan pengangkutan merupakan faktor penting didalam kelancaran arus mobilitas penduduk. Jaringan perhubungan berupa jalan raya, rel KA, perairan dan u-dara dengan alat pengangkutan seperti kendaraan bermotor, kereta api, kapal laut dan pesawat udara. Besarnya mobilitas penduduk dapat ditunjukkan dengan padatnya lalu lintas pengangkutan. Kemacetan lalu lintas di kota-kota membuktikan bahwa tidak seimbangnya antara mobilitas penduduk dengan jalan yang tersedia.
Setiap jenjang hari raya Idul Fitri kita seringkali menyaksikan arus mudik penduduk yang tinggi. Setiap jenis angkutan yang tersedia seperti bis umum dan kereta api penuh sesak dijejali penumpang. Keadaan mudik ini membuktikan bahwa mobilitas penduduk sangat tinggi. Untuk memenuhimobilitas penduduk yang makin lama makin tinggi ini, diperlukan jaringan perhubungan dan pengangkutan yang mencukupi.
Usaha-usaha pemerintah untuk memperluas dan meningkatkan kelancaran mobilitas penduduk diperlukan antara lain :
a) Memperlebar dan memperpanjang jaringan jalan baik di dalam maupun luar kota sehingga arus bolak-balik lalu lintas menjadi mudah dan lancar.
b) Menambah jumlah sarana angkutan darat, laut dan udara sehingga bila terjadi arus mobilitas penduduk yang tinggi (arus mudik) dapat teratasi.
c) Membangun ruas-ruas jalan tol dan jalan alternatif baik antar kota maupun antar propinsi.

2. Budaya
Agar memahami pengertian Sumberdaya Budaya, terlebih dahulu sebaiknya mengetahui pengertian kebudayaan. Kata kebudayaan berasal dari kata Sansakerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan dapat diartikan : hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Tetapi pengertian budaya ada yang mengartikan sebagai perkembangan dari budi-daya yang berarti daya dari budi, yang berupa cipta, karsa, dan rasa, sedangkan kebudayaan sebagai hasil dari cipta, karsa, dan itu sendiri. Kebudayaan dalam bahasa Inggris menjadi culture yang berasal dari kata latin colere yang berarti mengolah atau mengerjakan, perkembangan selanjutnya culture diartikan sebagai segala upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam.
Di samping pengertian kebudayaan, terdapat pula pengertian peradaban, dalam bahasa Inggris disebut civilization. Peradaban digunakan untuk menyebut bagian dari unsur-unsur kebudayaan yang halus, maju, dan indah. Pengertian peradaban sering pula dipakai untuk menyebut bagian dari unsur kebudayaan seperti sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, dan sistem kenegaraan dari masyarakat maju yang kompleks.
Berikut ini pengertian kebudayaan seperti diuraikan oleh beberapa ahli antara lain :
1) E.B. Tylor, menyebutkan bahwa Kebudayaan atau peradaban adalah keseluruhan yang kompleks, di dalamnya termasuk ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan yang lain serta kebiasaan yang di dapat manusia sebagai anggota masyarakat.
2) R. Linton mengemukakan bahwa kebudayaan adalah konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang unsur-unsur pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu.
3) C. Kluckhon dan W.H. Kelly menyebutkan bahwa kebudayaan adalah pola hidup yang tercipta dalam sejarah yang eksplisit, implisit, rasional, irrasional. dan non rasional, yang terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman yang potensial bagi tingkah laku manusia.
4) Koentjaraningrat memberikan definisi kebudayaan, yaitu seluruh kelakuan manusia dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkannya dengan cara belajar dan semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Beberapa pengertian kebudayaan tersebut, walaupun berbeda-beda tetapi memiliki pengertian yang sama, terutama bahwa kebudayaan adalah hasil cipta manusia yang diturunkan dari generasi ke generasi, dan kebudayaan diperoleh dengan cara belajar. Dengan demikian, bahwa setiap masyarakat memiliki kebudayaan sendiri sebagai warisan dari generasi terdahulu dan perilaku masyarakat disesuaikan dengan kebudayaannya
Pengertian sumberdaya budaya yaitu berhubungan segala sesuatu hasil karya manusia yang bermanfaatkan untuk menunjang kehidupannya. Menurut I Made Sandy, bahwa sumberdaya budaya menyangkut dua hal, yaitu :
1) sumberdaya budaya yang berasal dari hasil ciptaan manusia tetapi tidak dalam bentuk benda nyata (abstrak), seperti irama musik, karya sastra, seni suara dan lain-lain.
2) sumberdaya budaya sebagai hasil ciptaan manusia berupa benda-benda nyata, seperti teknologi (alat-alat), bangunan, dan lain-lain.
Dengan demikian, bahwa kebudayaan sebagai hasil karya manusia sebagai hasil kebudayaan berupa benda yang berwujud, aturan yang tertulis maupun tidak tertulis, hasil seni dan sastra, perilaku yang terpola sebagai ciri dari suatu masyarakat, dan lain-lain.

a. Jenis-jenis Sumber Daya Budaya
Suatu masyarakat dimana pun adanya dan bagaimanapun bentuknya, serta apapun coraknya akan memiliki apa yang disebut sebagai cultural universal atau kebudayaan universal. Cultural universal ini terdapat tujuh unsur yang dijadikan sebagai sumberdaya budaya masyarakat. Ke tujuh unsur tersebut adalah :
1) Peralatan dan perlengkapan hidup
Peralatan dan perlengkapan hidup merupakan bagian sumberdaya yang berupa teknologi. Hasil budaya manusia yang berpatokan pada pemanfaatan teknologi dapat berupa bangunan tempat tinggal, alat untuk bekerja, dan prasarana tranportasi berikut sarananya. Unsur kebudayaan ini muncul berupa benda yang pada mulanya digunakan untuk memudahkan pekerjaan manusia. Misalnya teknologi pertanian, bajak, cangkul, traktor, dan lain-lain.
2) Sistem mata pencarian
Mata pencarian atau usaha mencari dan mendapatkan nafkah hidup sangat berperan dalam kehidupan manusia. Jenis sumber daya seperti ini menyebabkan masyarakat manusia dapat melangsungkan proses kehidupannya. Berbagai jenis mata pencaharian yang kini ditemui dalam masyarakat primitif sampai pada masyarakat modern. Misalnya berburu dan meramu, mencari ikan di laut atau perairan yang lain, bercocok tanam di lahan basah ataupun di lahan kering, sampai pekerjaan perkantoran, jasa, industri yang di perkotaan maupun pedesaan.
3) Sistem kemasyarakatan
Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial merupakan tatanan kesatuan hidup pada masyarakat yang menyangkut hak-hak dan kewajiban secara individual maupun sosial. Setiap masyarakat memiliki corak kesatuan hidup dan sosial yang berlainan, sehingga keadaan ini menjadikan sumber potensi kemasyarakatan yang berbeda-beda di berbagai tempat, khususnya bagi masyarakat yang memegang teguh tradisi, yang sampai sekarang merupakan kekayaan budaya nasional. Ketidaksamaan organisasi sosial tersebut sebagai ciri khas budaya Indonesia yang Bhinneka.
4) Bahasa
Bahasa adalah simbol-simbol budaya dan sebagai alat komunikasi antar masyarakat dalam rangka saling berhubungan. Melalui bahasa menyebabkan manusia dapat mengetahui, memahami dan memanfaatkan setiap hasil budaya sendiri maupun orang lain. Begitu pula melalui bahasa, manusia dapat dengan mudah berkomunikasi dan bertukar pikiran mengenai segala hal yang berkaitan dengan sumber-sumber budaya.
Bahasa berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan dan menerima pesan, sehingga pesan yang disampaikan dapat berupa ucapan dari yang dapat didengar, maupun dalam bentuk simbol yang dituangkan ke dalam lambang-lambang, seperti tulisan, rambu-rambu lalu lintas, gerak tangan, dan lain-lain.
Bahasa sebagai salah satu unsur budaya yang dimiliki oleh suku-suku bangsa di Indonesia sangat beragam dan merupakan ciri dari setiap suku bangsa yang bersangkutan disebut bahasa daerah.
5) Kesenian
Seni atau kesenian merupakan aspek cerminan jiwa manusia dalam mengembangkan segala kemampuannya. seni akan berhubungan dengan perasaan yang dapat menimbulkan rasa keindahan, kesenangan, keserasian, kekaguman, dan lain-lain. Sebagai contoh, untuk membuat alat transpor tidak semata-mata demi kemudahan dan kenyamanan berpergian melainkan segi artistiknya perlu diperhatikan. Artistik tidaknya sebuah karya secara tidak langsung berhubungan dengan masalah penghargaan finansial.
f. Sistem pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) adalah buah pikiran yang dituangkan baik secara lisan maupun tulisan. Tinggi-rendahnya budaya suatu bangsa kadangkala tergantung pada tingkat pengetahuannya. Pengetahuan yang dimiliki masyarakat merupakan kekayaan yang berhubungan dengan kehidupan, seperti pengetahuan rasi bintang untuk menentukan awal mulainya menanam padi, pengetahuan tanaman yang berkhasiat obat digunakan untuk menyembuhkan penyakit, pengetahuan sistem penanggalan berdasarkan kalender matahari (sjamsiah) maupun kalender bulan (komariah) yang digunakan sampai sekarang.
g. Sistem religi atau kepercayaan
Sistem religi atau kepercayaan (keyakinan) berkaitan dengan semua aspek kegiatan manusia dan kegiatan ini didasari oleh adanya jiwa keagamaan atau emosi keagamaan. Karena itu religi sangat berperan berbegai aspek kehidupan, misalnya munculnya upacara selamatan rumah, selamatan berhasilnya membangun dan lain-lain. Sehingga kepercayaan, tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan.

b. Manfaat Sumberdaya Budaya bagi Perekonomian Indonesia
Sumberdaya budaya memiliki suatu kekuatan yang mendukung dan meningkatkan kehidupan masyarakat. Beberapa unsur-unsur kebudayaan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat dengan sengaja dimunculkan dengan tujuan agar dikenal oleh masyarakat lain, bahkan dapat dijual sebagai kekayaan budaya, baik berupa kesenian, hasil kerajinan, maupun keunikan budaya tersebut yang menyebabkan banyaknya orang yang berkunjung.

1) Bidang Pertanian
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pertanian sangat berarti. Ekstensifikasi dan intensifikasi merupakan dua cara dalam bidang ini untuk meningkatkan produksi, menambah variasi jenis tanaman, meningkatkan kesejahteraan dan menambah devisa negara.
Ekstensifikasi adalah cara meningkatkan hasil pertanian dengan menambahkan atau memperluas lahan garapan. Perluasan lahan garapan akan lebih memvariasi tanaman dan menambah hasil. Penambahan hasil tentunya meningkatkan penghasilan petani dan selanjutnya kehidupan kaum tani lebih sejahtera. Kelebihan hasil pertanian dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ekspor sehingga dapat meningkatkan devisa negara.
Cara intensifikasi berfungsi sama dengan ekstensifikasi hanya dalam intensifikasi lebih dititik beratkan pada pemanfaatan lahan yang ada seoptimal mungkin tanpa adanya perluasan. Cara intensifikasi di Indonesia dilakukan dengan sistim Sapta Usaha Tani, yakni pemupukan yang baik, pengairan yang teratur, pemilihan bibit unggul, pemberantasan hama dan penyakit secara baik, pengelolaan pasca panen yang baik dan mekanisasi pertanian.

2) Bidang Industri
Di samping industri kecil atau kerajinan rakyat yang bersifat tradisional, diselenggarakan dengan modal terbatas dan sebagai ciri dari suatu daerah, terdapat pula industri modern yang memiliki modal besar dan berkembang tidak hanya di tempat industri tersebut, melainkan sampai ke negara-negara lain. Sehingga adanya industri besar dan modern banyak menggunakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap bidang perindustrian, seperti halnya di Indonesia selain meningkatkan produksi juga sekaligus meningkatkan kualitasnya. Berbagai ragam industri yang ada di Indonesia yaitu industri pesawat terbang di Bandung, industri perkapalan di Surabaya, industri besi-baja di Cilegon, industri semen di Gresik dlsb.
3) Bidang Pariwisata
Di bidang pariwisata pengembangan sumberdaya budaya bermanfaat untuk meningkatkan jumlah wisatawan asing maupun domestik. Manfaat yang dapat dipetik dari hal tersebut tadi adalah mendatangkan devisa negara, mengurangi jumlah penganggur terutama penganggur berpendidikan tinggi yaitu dengan membuka usaha pertokoan cindera mata di antaranya, dan yang paling utama dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.
d. Permasalahan dan Penanggulangan Sumberdaya Budaya
Dari berbagai sumberdaya budaya yang ada tidak sepenuhnya berdampak baik dan bermanfaat, namun adakalanya sumberdaya budaya membawa hal-hal yang bersifat merugikan atau merusak tatanan kehidupan manusia.
Permasalahan sumberdaya budaya, khususnya yang terjadi di Indonesia di antaranya :
1) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang komunikasi dan transportasi menyebabkan hubungan penduduk di permukaan bumi semakin dekat atau akan menimbulkan gejala globalisasi informasi. Hal demikian akan memungkinkan terjadinya akulturasi dan asimilasi budaya-budaya barat ke dalam negeri. Budaya barat positif tidak menimbulkan permasalahan yang berarti, sebaliknya budaya negatifnya yang patut menjadi perhatian kita semua.
2) Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga membawa pengaruh yang baik dan buruk dalam bidang ekonomi. Di salah satu pihak kemajuan tersebut memnguntungkan secara ekonomis yaitu dapat mempercepat laju pertambahan produksi. Akan tetapi disisi lain akibat adanya kemajuan teknologi, terutama alat-alat produksi canggih, membawa akibat merosotnya persediaan sumberdaya alam makhluk hidup (baik nabati / hayati maupun hewani), mineral dan energi. Akibat yang lain adalah adanya pengurasan sumber daya - sumber daya tersebut secara tidak terkendali, serta terjadinya kerusakan lingkungan secara global akibat pencemaran.
3) Perkembangan teknologi komunikasi berpengaruh terhadap hubungan antarbangsa yang semakin erat terjalin dalam persatuan dan kesatuan. Jalinan persatuan dan kesatuan antarbangsa ini dapat melembaga secara hakiki dan selanjutnya terbentuklah badan-badan atau organisasi-organisasi yang sifatnya nasional, regional dan internasional. Akan tetapi jalinan antarbangsa tersebut dapat pula membawa permasalahan yang pelik, seperti merambahnya budaya luar yang negatif ke dalam negeri, bila ada perselisihan di dalam negeri dengan mudah pihak luar ikut campur atau mencampuri.
Cara atau metode yang paling efektif untuk menanggulangi atau setidaknya membendung permasalahan-permasalahan sumberdaya budaya adalah dengan diberlakukannya binaan dan bimbingan yang komperehensif dari pemerintah melalui ketahanan nasional dan kewaspadaan nasional.

e. Pewarisan Sosial - Budaya
Secara budaya untuk meningkatkan sumberdaya manusia melalui pewarisan social-budaya atau yang disebut enkulturasi. Setiap orang dalam kehidupan sosial biasanya memiliki beberapa kedudukan dan menjalankan berbagai macam peran sosial, yang mungkin terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, dalam proses ini, individu akan belajar bermacam-macam pola tindakan yang berlaku dalam masyarakat, sehingga akan membentuk kepribadiannya atau 'personalita'.
Manusia sebagai individu semenjak lahir akan berhubungan dengan manusia lain di luar dirinya, karena manusia sebagai mahluk sosial disebut sebagai proses sosialisasi. Sosialisasi adalah suatu proses belajar, bagi seseorang semenjak masa kanak-kanak sampai masa tua mengenai pola-pola tindakan dalam interaksi segala macam manusia yang ada di sekelilingnya. Sedangkan manusia sebagai individu mulai menyadari, menyerap, dan mendapatkan berbagai pengalaman hidup, keterampilan dan kepandaian, norma, dan adat istiadat dari orang lain disebut proses enkulturasi, maka untuk mendapatkannya dapat dilakukan melalui proses belajar. Manusia senantiasa dihadapkan pada proses belajar terus menerus dari berbagai pengalaman dalam hidupnya, karena setiap manusia merupakan penerus kebudayaan dari masyarakat di mana yang bersangkutan berada, dan ia juga akan memberikan pengalaman dan mengajarkan kehidupan sosial-budaya kepada anak sebagai penerusnya.
Hal yang paling penting di dalam pewarisan sosial-budaya adalah :
(a) Keluarga.
(b) Sekolah.
(c) Masyarakat dan Kebudayaan.
Individu yang dilahirkan dalam lingkungan keluarga, maka secara langsung akan menjadi anggotanya. Individu memerlukan pemeliharaan dan pendidikan sampai menjadi dewasa, dapat mandiri untuk membentuk keluarga sendiri. Orangtua bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup anaknya, sehingga dengan telaten membesarkannya melalui pemeliharaan dalam jangka waktu yang relatif lama, sampai masa bayi berakhir atau mencapai usia yang cukup untuk mendapat pendidikan keluarga. Pada usia awal yang disebut masa balita, peranan ibu sangat penting karena senantiasa mencurahkan perhatian lebih pada anaknya di samping anggota keluarga lainnya, sehingga akan mendapat pengaruh yang kuat dari kehidupan keluarga. Semakin bertambah usia anak, maka pengaruh akan bertambah dari linngkungan sepermainan, bahkan dari masyarakatnya.
Sosialisasi atau enkulturasi selanjutnya kita sebut pewarisan sosial – budaya di manapun berada termasuk pada masyarakat tradisional maupun masyarakat modern di awali dari peranan keluarga, antara lain :
1) Setiap anak menginginkan agar ia disukai, dihargai, dipuji dan mendapatkan cara-cara emosional (senang, gembira, bangga, bahagia, dan lain-lain) tertentu di dalam keluarganya. Misalnya, pada saat tertentu anak akan memperlihatkan kemampuannya di depan keluarganya seperti bernyanyi atau menari, maka setelah selesai akan mendapat pujian dan hadiah sehingga ia akan merasa senang, gembira, dan bahagia. Dalam hal tindakan yang lain juga anak membutuhkan pujian, sehingga ia mempunyai semangat untuk mengerjakannya kembali seperti anak yang baru mulai dapat berdiri dan berjalan akan ditanggapi dan dipuji oleh setiap anggota keluarga lainnya yang lebih tua.
2) Anak yang masih dalam lindungan orangtuanya kadang-kadang menemui hal-hal yang membutuhkan perlindungan, memerlukan bantuan agar dapat berkembang ke tingkat berikut sesuai dengan perkembangan usianya. Misalnya, anak takut mendekati ayam, maka meminta bantuan anggota keluarga lain untuk mengusirnya; anak perempuan tidak mampu untuk membuat nasi maka oarangtua akan membimbing dan mengajarkannya; anak yang memasuki usia sekolah kadangkala memerlukan penjelasan yang lebih rinci tentang pekerjaan rumah dari gurunya maka ia memerlukan kakak atau orangtuanya untuk memberi penjelasan tersebut; anak balita biasanya merasa takut apabila mendengar halilintar, maka ia memerlukan perlindungan orangtuanya dan lain sebagainya.
3) Di dalam keluarganya anak akan diajarkan dan dibimbing cara bergaul dengan orang lain apabila kelak ia menjadi bagian dari kehidupan lingkungan sosial yang lebih luas, mengenai cara bertindak dan berbicara yang seharusnya dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, seperti tidak boleh meludah sembarangan; tidak boleh berbicara kotor atau tidak sopan terhadap orang yang lebih tua; apabila bertamu atau berkunjung ke rumah orang lain harus permisi atau mengucapkan salam; apabila menerima pemberian dari orang lain harus menggunakan tangan kanan, dan lain-lain.
Pentingnya pewarian sosial-budaya sebagai awal pembentukan sumberdaya manusia dimulai dari kehidupan keluarga terhadap perkembangan dan pribadi anak yang akan mengenal kehidupan dan lingkungannya, maka pengaruh kehidupan keluarga terhadap perkembangan anak sebagai berikut :
1) Keluarga memberikan pengalaman yang paling awal terhadap anak.
2) Pengaruh keluarga yang diterima anak masih sangat terbatas.
3) Keluarga memberikan penanaman kuat terhadap perkembangan anat, karena intensitas yang tinggi karena berlangsung terus menerus, siang dan malam.
4) Pengaruh keluarga tersebut diterima dalam suasana aman serta bersifat emosional.
Masyarakat memiliki tugas dalam mewariskan kehidupan sosial dan kebudayaan kepada anak-anak sebagai sumberdaya manusia dan generasi penerusnya, antara lain :
1) Menjadikan generasi penerus sebagai warga nasyarakat yang baik dalam keluarganya maupun dalam masyarakat.
2) Mengajar secara sadar kepada penerusnya untuk berbuat sosial dalam masyarakat apabila berhubungan dengan orang lain.
Dengan demikian, masyarakat sebagai lembaga sosial yang lebih besar dari keluarga, menanamkan kebiasaan-kebiasaan sosial yang baik, memberikan pengetahuan dan pengalaman-pengalaman mengenai cara-cara berperilaku yang baik sesuai dengan keinginan masyarakat dan menghindari perbuatan-perbuatan yang tercela atau tidak disenangi oleh masyarakat. Pengaruh kebudayaan terhadap anak sebagai generasi penerus dapat dilihat dari ucapan-ucapan apabila berhubungan dengan orang lain, terutama dengan yang lebih tua. Dari ucapan dan tindakan sebagai hasil pewarisan budaya, akhirnya bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang ramah terhadap orang asing,
Pewarisan sosial-budaya terus berkembang selain dari peranan keluarga, seperti sekolah, masyarakat, dan kebudayaannya. Pewarisan budaya di manapun juga terjadi dengan pola yang berbeda-beda tergantung pada kehidupan masyarakat dan kebudayaannya, tetapi memiliki tujuan yang sama yaitu untuk meneruskan kebudayaan kepada generasi berikutnya.

f. Media Pewarisan Sosial - Budaya
Tumbuhnya kepribadian banyak ditentukan oleh beberapa faktor yang terdapat di lingkungan seseorang, yang meliputi :
1) Keluarga. Keluarga memiliki sifat-sifat sebagai perantara untuk terselenggaranya hubungan antar manusia yang erat. Dalam keluarga, orangtua memiliki peran utama untuk meletakkan dasar-dasar kepribadian pada anak-anaknya, yang bertujuan untuk menghasilkan kembali kepribadian yang mereka miliki kepada keturunannya. Begitu pula halnya di masyarakat, bahwa kepribadian yang dimiliki senantiasa akan diturunkan kepada setiap generasi.
Keluarga batih (nuclear family yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya yang belum menikah) sebagai lembaga sosial terkecil di masyarakat memiliki peranan tertentu, yang meliputi :
- sebagai pelindung bagi pribadi-pribadi yang menjadi anggotanya, di mana ketentraman dan ketertiban di peroleh dari wadah tersebut.
- merupakan unit sosial ekonomis yang secara materil memenuhi kebutuhan anggota-anggotanya.
- menumbuhkan dasar-dasar norma pergaulan hidup.
- merupakan wadah di mana manusia mengalami proses sosialisasi awal, yakni suatu proses di mana manusia mempelajari dan mematuhi norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Dengan demikian, bahwa keluarga batih memiliki peranan penting dalam pembentukan kepribadian seseorang. Gangguan pada pertumbuhan kepribadian dapat saja dise¬babkan pecahnya kehidupan keluarga batih baik secara fisik maupun secara mental, misalnya karena perceraian atau kematian.
2) Teman Sepermainan kedewa¬saan. Dalam proses pembentukan kepribadian, melalui sepermainan bagi seseorang dimulai dari masa kanak-kanak, baik dengan anak tetangga, teman sekolah, anak kerabat dan lain-lain. Teman sepermainan umumnya akan membentuk persahabatan, yang diperlukan sebagai penyaluran berbagai aspirasi untuk memperkuat unsur-unsur keribadian yang telah diperoleh dari rumah (ling¬kungan keluarga). Persahabatan yang dijalin dari teman sepermainan tidak selamanya memiliki nilai positif, adakalanya persahabatan mengarah pada nilai-nilai negatif yang dapat merugikan perkembangan kepribadian anak, karena diantara mereka satu sama lain saling mempengaruhi dan tergantung pada kedudukan masing-masing dalam pergaulan. Jika dalam pergaulan tersebut kedudukannya berada di bawah, maka sebagai subordinasi yang terpengaruh atau sebagai super¬ordinasi yang mempengaruhi. Teman sepermainan kelompok primer, di mana awal dari pergaulan seorang anak dalam membentuk kepribadian dirinya. Sahabat yang baik senantiasa mendorong ke arah keberhasilan seseorang, baik dalam lapangan ekonomi maupun dalam pendidikan dan satu sama lain memberi nasihat apabila salah satu pihak melakukan kesalahan, sehingga diantara mereka terdapat proses yang mengisi. Teman sepermainan tidak hanya dilakukan oleh dua orang saja, melainkan dapat berkembang ke pengelompokkan yang lebih besar lagi. Membesarnya kelompok ini disebabkan semakin luasnya ruang lingkup pergaulan diantara mereka, baik di lingkungan rumah, tetangga, lingkungan sekolah,atau karena mereka memiliki kesenangan (hobby yang sama. Kelompok yang besar ini biasanya disebut klik/clique). Klik memiliki peran positif terhadap anak yang menginjak usia remaja yang berada dalam proses kedewasaan.
Peranan klik antara lain sebagai berikut :
- Rasa aman dan rasa dianggap penting berasal dari keanggotaan suatu klik tertentu, hal itu penting bagi perkembangan jiwa yang sehat.
- Rasa aman yang ditimbulkan karena diterima oleh klik¬nya, akan menimbulkan dorongan untuk hidup mandiri atau tidak tergantung pada orang lain.
- Di dalam klik, remaja dapat menyalurkan rasa kecewa¬nya, rasa takut, rasa khawatir, rasa gembira dan lain-lain yang berhubungan dengan perasaan, karena mendapat tanggapan yang wajar dari teman se-klik.
- Klik memungkinkan remaja mengembangkan kemampuan dalam keterampilan-keterampilan sosial, sehingga dia lebih mudah menyesuaikan diri dengan berbagai keadaan.
- Biasanya klik mempunyai pola perilaku dan norma-norma tertentu yang mendorong remaja untuk bersikap dan bertindak secara dewasa.
Kelompok persahabatan atau klik ini dapat pula bersifat negatif, yang antara lain sebagai berikut :
- Klik mendorong anggotanya untuk bersikap diskriminatif terhadap bukan anggota klik. Hal ini dapat menimbulkan sukap dan tindakan yang kurang adil.
- Klik mendorong terjadinya individualisme, karena rasa kepatuhan dikembangkan secara pribadi.
- Kadang-kadang timbul rasa iri hati dari anggota-anggota klik yang berasal dari keluarga kurang mampu, terhadap mereka yang berasal dari keluarga yang lebih mampu.
- Kesetiaan terhadap klik kadang-kadang mengakibatkan terjadinya pertentangan dengan orangtua, saudara atau kerabat.
- Klik merupakan suatu kelompok tertutup yang sulit sekali ditembus, sehingga penilaian terhadap sikap dan tindakan anggotanya sukar dilakukan oleh pihak luar.
- Klik mendorong anggotanya untuk menyerasikan diri dengan pola kehidupan yang sama latar belakangnya, sehingga sulit untuk mengedakan penyesuaian dengan pihak-pihak yang berbeda latar belakangnya.
- Kadang-kadang klik dapat menghambat perkembangan motivasi anggotanya.
- Euphemisme dipengaruhi klik tertentu.
Seorang anak yang menginjak dewasa cenderung akan memiliki kelompok persahabatan atau klik, sehingga orangtua senantiasa dapat mengawasi setiap tindakan yang dilakukan anaknya, karena adakalanya klik yang dia masuki malah bersifat negatif yang menjurus ke tindakan kenakalan remaja. Karena itu anak diberi pengertian yang mendalam untuk memilih pergaulannya yang bersifat posi¬tif, yang dapat mendorong keberhasilan studi dan memben¬tuk kepribadian yang diinginkan oleh masyarakat.
3) Sekolah. Sekolah memiliki banyak peran di masyarakat, terutama sebagai pembentuk kepribadian masyarakat, sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri, Kepentingan tersebut tergantung cara meninjau kepentingan sekolah dari berbagai sudut pandang. seperti :
- Ditinjau dari kepentingan masyarakat, sekolah merupa¬kan lembaga untuk melestarikan warisan budaya masyara¬katnya.
- Bagi kepentingan individu, sekolah dipandang sebagai tempat mentransmisikan informasi dan menanamkan kesadaran untuk memiliki tanggung jawab terhadap pola perilaku dan nilai-nilai yang dianut masyarakat, sehingga sekolah dapat pula berperan sebagai proses untuk melakukan penanaman nilai-nilai budaya masyara¬kat.
- Sekolah juga berperan sebagai Sosialisasi dari keluar¬ga.
Proses belajar mengajar di sekolah tidak hanya memberikan materi pelajaran yang ada di jenis sekolah bersangkutan sesuai dengan kurikulum yang berlaku, melainkan sekolah turut membentuk siswa sebagai generasi muda yang diharapkan negara dan bangsa, sehingga nilai-nilai kehidupan berbangsa, bernegara dan nilai-nilai yang lain ditanamkan di sekolah melalui pewarisan sosial-budaya.
pewarisan sosial-budaya generasi muda di masyarakat, menuntut untuk terus belajar belajar agar menghargai dan memahami nilai-nilai yang berlaku, mereka harus melakukan inter¬nalisasi nilai-nilai dan keyakinan sebagai pedoman bertindak dan berperilaku. Pada permulaan sosialisasi di sekolah ditemukan adanya imitasi atau peniruan seo¬rang anak atau siswa terhadap orang yang dewasa, terma¬suk meniru perilaku orangtuanya dalam segala tindakan dalam bentuk permainan dengan teman-temannya atau meniru cara belajar yang baik. Hal itu dilakukan untuk memberi¬kan makna dan akan bermanfaat bagi dirinya dan terus mengalami pengulangan sampai anak memahami hal-hal yang berarti, selajutnya setiap tindakannya akan dihayati dan akhirnya dijadikan pedoman dalam perilaku dan tindakan.
Dalam masa-masa pertumbuhan seseorang akan meman¬faatkan peranan belajar untuk mempelajari apa yang diharapkan orang lain, dan ia sendiri memiliki harapan dari hasil yang dicapainya. Masyarakat yang mendambakan kemajuan bagi keturunannya mempercayakan proses pen¬didikan anak kepada sekolah untuk melakukan tugas-tugas edukasi dan sosialisasi, karena sekolah dianggap sebagai kebutuhan yang penting dalam kesiapan dan harapan mene¬rima hari esok yang lebih baik. Kepercayaan masyarakat terhadap sekolah sebagai akibat kekomplekan hidup, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan orang tua semakin tidak mampu untuk mengajar anak-anak¬nya sesuai dengan kebutuhan jaman, akibatnya semakin ketat persaingan dan kompetisi hidup, sehingga sekolah dipercaya sebagai mengsosialisasikan anak-anaknya agar berhasil melalui pendidikan.
4) Lingkungan Kerja. Lingkungan kerja memiliki pengaruh kuat terhadap diri seseorang, terutama lingkungan kerja bagi masyara¬kat yang telah maju, di mana pembagian kerja dilaksana¬kan berdasarkan fungsi masing-masing dan jelas bidang garapannya. Apabila pengaruh lingkungan kerja tersebut telah mengendap dalam diri seseorang, maka sukar sekali untuk mengubahnya, apalagi yang bersangkutan telah bekerja relatif lama, misalnya : Bapak X bekerja sebagai guru dalam jangka waktu yang lama, maka akan sulit bagi bapak X untuk mengubah pola kehidupannya, jika bapak X pensiun kemudian menjadi pedagang di pasar, maka ia akan sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja yang baru.
Seorang ayah bekerja dan ibu menjadi ibu rumah tangga, pendidikan keluarga lebih dibebankan pada peranan ibu, maka anak akan senantiasa merasa diawasi. Untuk menjaga kemungkinan dari pengaruh yang tidak baik, maka perlu adanya saling pengertian dari kedua belah pihak agar anak mereka dapat memahami kondisi lingkungan masing-masing.
Orangtua keduanya bekerja akan mempengaruhi pula kepribadian anaknya, karena orangtua yang masing-masing mengejar karier, akibatnya anak menjadi kurang perha-tian, anak menjadi kurang kasih sayang dan kebingungan, kemudian anak mencari penyelesaiannya sendiri, akibatnya menjadi korban yang tidak dikehen¬daki.
Orangtua harus dapat menduga pengaruh yang mungkin timbul dari lingkungan kerjanya. Kadang-kadang hal itu tidak dipertimbangkan, karena ada kecenderungan orangtua hanyut dalam lingkungan kerja yang tidak selalu positif, seperti sering pulang larut malam menyebabkan waktu berkumpul dengan keluarga sangat sedikit sekali, atau kejengkelan di lingkungan kerja di bawa ke rumah, se¬hingga orang yang ada di rumah terkena getahnya. Begitu pula karier yang dicapai orangtua tidak akan bermanfaat apabila keadaan keluarga menjadi kacau. Dengan demikian, dalam lingkungan kerja tertentu, seseorang dituntut untuk lebih banyak berpikir mengenai akibat yang mung¬kin muncul dari pekerjaan yang ditanganinya, agar jangan sampai berakibat fatal bagi keluarga.
5) Media Massa. Kepribadian manusia berkembang menurut tahap-tahap tertentu, sama halnya ia memiliki makna hidup yang terpadu. Keadaan yang demikian akan ditempa oleh pengaruh media massa berupa surat kabar, televisi, radio, majalah dan lain-lain, yang terus-menerus diikuti oleh seseorang, sehingga lambat laun orang yang bersang-kutan akan mencari, menemukan dan melengkapi keribadi¬annya dari media massa yang ditekuninya.
Mengikuti peristiwa-peristiwa yang terjadi di seluruh dunia, baik dari bacaan, radio ataupun menonton Televisi setiap saat mengenai salah satu cerita film, maka hal ini akan mempengaruhi orang yang bersangkutan. Biasanya seseorang ikut larut dalam cerita tersebut, sehingga media massa turut mengembangkan minat dan motivasi seseorang terhadap setiap gejala-gejala yang diikutinya, akhirnya terpadu dan memberikan peluang untuk mengidentifikasikan dirinya pada setiap peristiwa yang terjadi, misalnya :
- Pahlawan-pahlawan dalam cerita televisi, radio cerita bersambung dari surat kabar, semuanya memberikan acuan untuk mengembangkan diri kita seperti tokoh dalam cerita tersebut.
- Seorang wanita muda menjadi ibu yang baik, ulet dan bertanggung jawab dalam membina keluarga, setelah melihat tokoh ibu yang ideal dalam kisah drama di salah satu media massa.
- Seorang penyandang cacat merasa percaya diri terhadap masa depannya, setelah membaca kisah keberhasilan seorang penyandang cacat lain.
Pengaruh media massa tidak saja bersifat positif seperti di atas, adakalanya bersifat negatif, seperti :
- Memberikan ide kepada penjahat untuk melakukan keja¬hatan yang lebih besar.
- Kekerasan yang ditonjolkan diikuti oleh anak kecil, sedangkan yang dijadikan percobaan adalah adiknya sendiri, sehingga anak menjadi korban kepolosannya.

3. Pedesaan dan Perkotaan
a. Kehidupan Masyarakat Pedesaan
Pengertian desa berasal dari bahasa Sansakerta yaitu deca, pengertiannya sama dengan yang ada di Jawa, di dalamnya terdiri dari dukuh atau kampung. Sejak jaman kolonial Belanda, keberadaan desa diakui secara hukum, yaitu desa diakui dan dianggap sebagai kesatuan ketatanegaraan yang mempunyai ciri-ciri hukumnya. Desa merupakan persekutuan hukum pribumi yang terkecil dengan memiliki :
(1) otoritas sendiri;
(2) daerah atau satuan wilayah sendiri; dan
3) memiliki kekayaan dan pendapatan sendiri.
Kesatuan hukum atau persekutuan hukum, maksudnya adalah kesatuan hukum yang dimiliki oleh masyarakat (pribumi) itu sendiri, misalnya :
(1) kesatuan dari aturan adat yang tumbuh dan berkembang di masyarakat itu sendiri, yang memiliki karakteristik dasar yang tradisional;
(2) kesatuan hukum yang didukung dan merupakan kesepakatan umum dari sebagian besar warga masyarakat pedesaan.
Masyarakat pedesaan terbentuk karena adanya sejumlah prinsip, nilai, dan norma yang membuat warga pedesaan terikat, sehingga merupakan kesatuan hidup bersama. mengenai hal ini banyak pendapat yang mengemukakan, antara lain yaitu prinsip terjadinya masyarakat pedesaan yaitu,
(1) adanya hubungan kekerabatan (keturunan) atau genealogis;
(2) adanya hubungan teritorial (yang sama dan berdekatan);
(3) adanya tujuan khusus yang berkaitan erat dengan aktivitas sehari-hari;
(4) adanya ikatan tentang aturan yang datang dari atas, misalnya bahwa batas suatu desa dengan desa-desa lainnya diatur oleh undang-undang atau peraturan peraturan perundang-undangan;
(5) terbentuk desa karena adanya sub-sub klan; dan
(6) ikatan keagamaan sebagai pemersatu.
Selain itu masyarakat pedesaan pada umumnya memiliki ciri kehidupan yang bersifat gemeinschaft (paguyuban), yaitu di dalamnya terdapat kehidupan yang saling kenal mengenal, hidup tenteram, rukun, berjiwa gotong-royong, dan kuatnya memegang tradisi. Dengan demikian, masyarakat pedesaan dapat disebut sebagai masyarakat tradisional karena mereka tetap bertahan dan terikat dengan tradisi sebagai norma kebiasaan dan adat yang mengatur cara hidup anggotanya. Masyarakat pedesaan walaupun sebagai masyarakat tradisional tidak dapat begitu saja disebut sebagai masyarakat primitif, karena desa mempunyai perkembangan dan kemajuan masyarakatnya sesuai dengan keinginan mereka untuk maju dan sejajar dengan masyarakat yang lebih dahulu telah melaksanakan kemajuan. Dalam hal ini, Daldjoeni dan Suyitno (1982 : xiv) mengatakan, bahwa pembangunan masyarakat desa diharapkan sersumber pada masyarakat desa itu sendiri, sedangkan campur tangan pihak luar sifatnya hanya sekedar mendorong saja. Perkembangan pedesaan berupa perubahan sifat sosial-ekonomi dan budaya berjalan secara wajar, sehingga perubahan dapat diterima mereka karena dianggap dapat meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik dari sebelumnya. Kemajuan desa apabila dilihat dari ciri-ciri perkembangan fisik-material saja tidaklah cukup karena harus dilihat pula perkembangan mental masyarakat agar mereka mau menerima dan melaksanakan perubahan-perubahan yang sesuai dengan keinginan mereka.
Orientasi kepentingan bersama masyarakat pedesaan, melalui rasa kekeluargaan (solidaritas ke dalam) di antara sesama warga, sehingga satu sama lain merasa sebagai anggota keluarga yang besar. Dalam kehidupan kekeluargaan itu akan muncul kepentingan desa yang harus didahulukan yang dilaksanakan melalui sistem gotong-royong sebagai tanggung jawab bersama pada di setiap aspek kehidupan, seperti pada pesta, pembangunan rumah, pembangunan fasilitas umum, terjadi musibah dll.
Kehidupan warga masyarakat pedesaan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan warga lainnya, mereka di antara sesama warga satu sama lain mempunyai hubungan yang erat sekali, misalnya : Kerjasama dalam menghasilkan produksi pertanian, yang merupakan sumber bahan makanan bagi masyarakat pedesaan itu sendiri, di samping bahan makanan bagi masyarakat di luar lingkungan sosialnya.
Masyarakat pedesaan dengan ciri-ciri yang utuh (di luar pengaruh kota) memiliki latar belakang pekerjaan yang sama yaitu di bidang agraris khususnya pertanian, baik sebagai petani pemilik lahan, petani penggarap yang bertani atas dasar upah yang telah disepakati, atau sebagai petani pemilik sekaligus sebagai penggarap. Diantara mereka memiliki rasa kekerabatan dan jiwa gotong royong cukup kuat, dan terpelihara sampai sekarang. Jiwa gotong royong ini merupakan tulang punggung pembangunan pedesaan, seperti pembangunan rumah milik salah seorang warga desa, menanam padi dan saat panen, pembangunan prasarana/sarana desa dan lain-lain yang memerlukan kerjasama. Mereka sebagai warga pedesaan mengerjakan suatu pekerjaan secara bersama-sama tanpa imbalan jasa yang jelas, karena pekerjaan yang dilakukan bertujuan untuk mempertahankan rasa kebersamaan dan untuk kepentingan bersama. Contohnya apabila salah satu warga mengadakan perayaan, maka warga desa di mana ia berada akan berdatangan turut membantu, baik berupa bahan-bahan makanan keperluan pesta, atau tenaga. Imbalan terhadap mereka tidak langsung diperoleh atau diganti, melainkan warga desa yang bersangkutan akan mempunyai kewajiban untuk mengembalikannya di saat warga yang lain mengadakan perayaan, dengan membawa bantuan minimal sesuai yang diterima pada saat ia mengadakan perayaan.
Warga pedesaaan akan bergembira sekali apabila kedatangan sanak saudaranya dari daerah lain atau dari kota, biasanya hal ini menjelang Hari Raya Idul Fitri, mereka akan menyambutnya sebagai orang yang berhasil. Penyambutan yang penuh dengan keakraban dapat pula terjadi pada orang lain, terutama yang berasal dari kota, walaupun tamu yang datang dari kota tersebut belum dikenalnya, hal ini mereka anggap sebagai kehormatan yang besar.
Dengan demikian, uraian tersebut merupakan ciri masyarakat pedesaan yang utuh atau belum banyak pengaruh perkotaan yang turut mencampuri tata kehidupan mereka. Selain itu banyak pula desa-desa yang kebiasaan hidupnya tidak seperti digambarkan, hal ini disebabkan derasnya perubahan akibat komunikasi dengan perkotaan yang semakin intensif. Perubahan masyarakat pedesaan di antaranya oleh :
1) Banyaknya pemuda pedesaan yang bekerja di luar sektor pertanian, atau di kota, sekembalinya ke desa mereka membawa kebiasaan orang kota.
2) Banyaknya pengunjung dari kota ke desa bersangkutan, misalnya pedesaan dekat dengan tempat wisata, sehingga penduduk desa selain bertani, mereka mencari penghasilan tambahan dengan berdagang menjual berdagang berupa hasil bumi atau kerajinan kepada pengunjung.
3) Banyaknya pemuda pedesaan yang melanjutkan pendidikannya di kota. Pergaulan yang diperoleh di kota akan di bawa ke desanya.
4) Semakin dekatnya jarak antara pedesaan dengan kota, atau mudahnya keterjangkauan akibat lancarnya hubungan melalui sarana dan prasarana transportasi, sehingga pada saat-saat tertentu mereka melakukan wisata ke kota.
5) Derasnya arus komunikasi dari kota, yang ditunjang oleh listrik masuk pedesaan, koran masuk desa, siaran radio swasta yang dapat ditangkap di pedesaan, siaran televisi swasta yang diterima di pedesaan menyebabkan mereka ingin mencontoh apa yang dilihatnya.
Di samping perubahan pengaruh perkotaan yang langsung terhadap pedesaan, terdapat pula desa yang masyarakatnya dapat dikatakan sebagai masyarakat marginal yaitu masyarakat yang tidak memiliki ciri sebagai masyarakat pedesaan maupun ciri sebagai masyarakat perkotaan. Mereka umumnya berada di daerah pinggiran kota, seperti di pinggiran kota Bandung yang perubahannya pesat akibat perkembangan perkotaan dan pemukiman yang meluas, maka pinggiran kota Bandung yang tadinya sebagai daerah pertanian, kini berubah menjadi wilayah industri atau wilayah pemukiman-pemukiman baru, yang menyebabkan mereka semakin tersisih dan curiga terhadap hal-hal yang baru, terutama terhadap beberapa petunjuk atau pengarahan yang datang kepada mereka, hal ini akibat bercabangnya pikiran orang kota terhadap orang desa, sehingga keterbatasan pengetahuan dan kemampuan di luar sektor pertanian, dianggap mudah untuk dibentuk sesuai dengan keinginan orang kota. Karena itu penyimpangan dilakukan oleh orang kota yang tidak bertanggung jawab, akan menambah kecurigaan orang desa, sehingga apabila terdapat suatu pembaharuan terhadap pedesaan diperlukan perantara yang dikenal dan dipercaya mereka, agar pembaharuan atau pembangunan yang datang ke pedesaan dapat diterima dengan baik.
Masyarakat pedesaan hidupnya selalu taat terhadap aturan-aturan hidup, yang dijadikan pegangan sehari-hari, yang disebut norma sosial. Norma sosial merupakan suatu peraturan, pegangan, pedoman atau ketentuan-ketentuan bertingkah laku di masyarakat pedesaan yang umumnya tidak tertulis, melainkan diturunkan pada setiap generasi. Maka Norma Sosial adalah peraturan-peraturan yang bersifat umum mengenai kelakukan atau perbuatan yang berdasarkan pertimbangan-pertimbangan kesusilaan, kebiasaan atau faham yang sehat.
Dengan demikian, masyarakat pedesaan dengan ciri-ciri desa yang utuh akan menerima dan melaksanakan norma sosialnya, tanpa memiliki keinginan untuk melanggarnya, contoh norma sosial yang berlaku di desa sebagai berikut :
(1) Anak harus taat dan hormat pada orangtuanya, maupun pada orang lain yang lebih tua.
(2) Menanam padi tidak sembarangan waktu, tetapi harus berdasarkan perhitungan dan cara tersendiri.
(3) Pembagian air sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan.
(4) Pemilihan jodoh dan perkawinan harus berdasarkan aturan agama yang dianut dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku.
(5) Membuat rumah berdasarkan perhitungan baik atau buruknya, begitu pula aturan rumah harus menghadap.

1) Norma dan Nilai Sosial Pedesaan
Norma sosial yang berlaku di masyarakat pedesaan merupakan suatu alat untuk menjaga keutuhan masyarakatnya, agar mereka dapat mengatur cara hidupnya secara harmonis. Apabila diantara mereka terdapat yang melanggar norma, maka akan dikenakan sanksi yang biasanya berupa cemoohan, tidak disenangi atau tidak lagi dihormati di lingkungan sosialnya.
Selain norma yang dipegang masyarakat, terdapat pula nilai sosial yang berfungsi untuk mengenal atau mengatur baik-buruknya suatu perbuatan di masyarakat, bagi mereka yang melanggar tentu saja akan mendapatkan pertimbangan-pertimbangan norma sosial, sesuai dengan berat-ringannya pelanggaran yang dilakukan. Dengan demikian, nilai sosial ditelaah secara umum sebagai berikut :
(1) Nilai sosial dapat berlaku secara perorangan, kelompok, atau masyarakat.
(2) Nilai sosial tidak nampak di permukaan, tetapi akan nampak pada perilaku orang yang ada di desa bersangkutan, yang memberikan arah serta bentuk yang diharapkan oleh masyarakat.
(3) Nilai sosial yang terdapat di masyarakat, banyak bentuk dan fungsinya, sehingga setiap warga masyarakat dapat mendahulukan nilai yang dianggapnya lebih penting, misalnya seorang warga dihadapkan pada dua pilihan yang datang bersamaan, yaitu harus menolong tetangga yang sakit, atau menerima tamu, maka yang bersangkutan berhak menentukan pilihannya, lebih baik lagi tanpa merugikan keduanya.
(4) Nilai yang berlaku di masyarakat terdapat nilai ideal bersifat konsep yang ada di setiap pikiran manusia dan nilai rasional yang baik-buruknya berdasarkan akal setiap orang.
Di samping nilai secara umum seperti di atas, terdapat pula nilai-nilai kehidupan yang tumbuh di masyarakat desa, yang meliputi :
(1) Rasionalisme
Suatu pekerjaan yang dilakukan harus masuk akal, seperti untuk meningkatkan produksi pertanian, maka pemupukan yang seimbang harus dilakukan atau pertanian harus dilakukan melalui panca usaha tani.
(2) Tradisionalisme
Tradisi atau adat kebiasaan dipegang teguh. Bahwa segala anjuran atau perbuatan turun temurun yang berasal dari nenek moyang harus tetap dijalankan dan dipertahankan, karena memiliki nilai yang baik. Pelaksanaan nilai ini umumnya orang tidak memandang masuk akal ataupun tidak, melainkan wajib dijalankan tanpa harus berpikir dahulu, misalnya sebelum panen padi dimulai, maka pemilik sawah atau padi harus membuat sesajen dahulu.
(3) Keseragaman Lahir
Perilaku seseorang dari warga masyarakat desa dianggap mewakili perilaku seluruh warga masyarakat. Keseragaman ini sering berdampingan dengan tradisionalisme dalam hal pengendalian sosial.
(4) Prestasi
Keberhasilan yang dicapai oleh seorang, umumnya merupakan penutan bagi warga masyarakat yang lain, misalnya : Keberhasilan dalam usaha bertanam palawija di samping padi, biasanya diikuti atau ditiru oleh yang lain. Orang desa jarang sekali begitu saja menerima suatu perubahan, apabila tidak ada contoh yang nyata dan berhasil dari warga yang lain dalam menerapkan perubahan tersebut.
(5) Individualisme
Sifat individualisme jarang dimiliki oleh warga pedesaan, mereka lebih mementingkan rasa kebersamaan atau gotong-royong. Adakalanya individu- alisme diperlukan dalam hal memacu rasa percaya diri dalam mengejar suatu keberhasilan, individualisme masyarakat desa bukan berarti mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan orang lain.
(6) Demokrasi.
Demokrasi di pedesaan masih murni seperti halnya pemilihan kepala desa, atau mereka berkumpul mencari mufakat dalam memecahkan masalah bersama, seperti pembangunan sarana/prasarana untuk kepentingan bersama.
(7) Kenikmatan Lahir
Jarangnya orang desa menerima penghargaan atau pemuasan kebutuhan, seperti halnya orang kota, apabila mereka mendapatkan sesuatu yang tidak ditemuinya di kota, maka akan sangat tersanjung atau bangga dengan apa yang telah didapatkannya, misalnya menerima piagam penghargaan, menerima makanan yang yang biasa terdapat di kota (di desa tidak ada) dan lain-lain.
(8) Kemajuan
Perubahan yang lebih baik dari keadaan sebelumnya. Kemajuan ini dapat berupa taraf hidup, pendidikan dan lain-lain, akan menjadi dambaan bagi masyarakat desa, tetapi untuk mencapai kemajuan tersebut banyak sekali pertimbangan, karena khawatir menyimpang dari norma yang berlaku. Adakalanya diantara mereka bersifat sebaliknya seperti fatalistik yaitu menerima keadaan apa adanya, karena merasa hidupnya ditakdirkan seperti sekarang ini. Sifat fatalistik biasanya turun temurun, maka harus dihilangkan dengan memberikan pengertian akan nikmatnya hidup apabila mencapai suatu keberhasilan.
(9) Efisiensi dan praktis
Efisiensi thidup dan praktis adalah suau cara berusaha melalui pengorbanan (waktu, tenaga, biaya dll) yang minimal untuk mendapatkan hasil yang maksimal, sikap ini jarang sekali dimiliki oleh masyarakat desa, karena mereka terikat oleh tradisionalisme. Waktu sekarang untuk masa sekarang, esok lusa itu soal nanti.
(10) Keamanan
Rasa aman merupakan harapan dari setiap orang, bagi warga masyarakat pedesaan keamanan desa dilaksanakan bersama-sama dalam bentuk ronda malam atau ronda siang (siskamling). Ronda malam dilakukan saat warga desa sedang nikmatnya tidur, sedangkan ronda siang dilaksanakan pada saat kampung sedang kosong, karena warganya sedang berkerja di ladang, hal ini dilakukan agar jangan sampai ada tamu yang tidak diundang memanfaatkan tidak adanya orang di kampung atau apabila terjadi hal lain yang tidak diinginkan seperti kebakaran.
(11) Kerja keras
Warga masyarakat pedesaan wajib kerja keras setiap hari terutama berhubungan dengan aktifitas hidup sehari-hari, dengan tujuan sebagai bekal hidup dari hari ke hari, yang tidak menggantungkannya pada warga lainnya.
(12) Etnosentrisme
Perasaan satu desa atau satu suku melekat pada mereka, sehingga akan menaruh curiga jika ada pendatang yang asing bagi mereka. Karena itu apabila datang ke suatu desa sebaiknya ada pendamping yang dikenal baik oleh masyarakat bersangkutan. Salah satu usaha untuk mendekati masyarakat yaitu dapat berbicara bahasa setempat, karena pembicaraan dengan bahasa setempat akan menambah keakraban dengan warga desa.

2) Pemukiman Penduduk Pedesaan
Kehidupan masyarakat di pedesaan tidak terlepas dengan pemukimannya, yang secara umum tidak jauh dengan tempat kerja mereka di bidang agraris. Di Pulau Jawa, pemukiman penduduk di pedesaan umumnya mengelompok, kecuali bagi daerah-daerah pegunungan, pertanian atau disebabkan perbedaan kesuburan tanah, yang mengharuskan pemukiman menjadi tersebar. Apabila dilihat dari susunan persebaran rumah-rumah warga desa di suatu kampung, maka dibagi menjadi :
(1) Compact rural settelments atau tempat kediaman masyarakat yang mengelompok. Adapun ciri-cirinya :
- daerah-daerah yang memiliki tanah subur dapat mengikat kediaman masyarakatnya dalam satu kesatuan.
- daerah-daerah yang memiliki relief sama akan mempengaruhi masyarakat untuk membuat rumah saling berdekatan.
- daerah-daerah yang memiliki permukaan air tanahnya dalam, jika masing-masing rumah membuat sumur sendiri, hal ini akan menambah biaya bagi warga masyarakat, sehingga yanga da atau hanya terdapat satu sumber air yang utama, maka rumah-rumah akan memusat dekat dengan sumber air.
- daerah-daerah yang keamanannya belum mantap, baik dari gangguan binatang buas maupun gangguan dari orang lain yang mengganggu ketertiban, maka akan mempengaruhi terjadinya pengelompokkan rumah.
(2) Fragmented rural settlements atau tempat kediaman yang tersebar. Dengan ciri sebagai berikut :
- daerah-daerah yang sering mengalami banjir, sehingga rumah menjadi tersebar di tempat-tempat yang relatif tidak terjangkau banjir.
- daerah-daerah yang topografinya kasar dan tidak rata disebabkan keadaan daerah yang bersangkutan berbukit-bukit, hal ini menyebabkan warga masyarakat memilih tempat yang dianggapnya nyaman dan aman.
- daerah-daerah yang permukaan air tanahnya dangkal, sehingga memungkinkan warga masyarakat dapat mengambil air sesuai dengan kehendaknya, begitupula rumah yang akan didirikannya.
Berdasarkan pemusatan pemukiman atau rumah tempat tinggal warga masyarakat, maka pemusatan tempat tinggal dibagi menjadi :
(1) Nucleated village, yaitu pemukiman warga masyarakat secara menggerombol membentuk suatu kelompok yang disebut nucleus. Alasan pemusatan ini seperti pada compact rural settelements.
(2) Line village, yaitu beberapa warga masyarakat menyusun tempat tinggalnya mengikuti jalur jalan atau jalur sungai sehingga membentuk deretan perumahan. Alasan warga masyarakat membuat rumah di sepanjang jalan adalah:
- jalan memudahkan mereka untuk mengadakan hubungan dengan kerabatnya di tempat lain yang berjauhan.
- memudahkan mengangkut hasil bumi warga masyarakat untuk dijual ke tempat lain yang membutuhkannya atau ke kota.
- sebagai tempat hiburan, bagi mereka yang jauh dari pusat kota atau pusat kecamatan, setiap sore warga masyarakat sering nongkrong atau jalan-jalan di sepanjang pemukiman mereka.
- lebih jauh lagi sebagai tempat untuk mencari jodoh diantara warga masyarakat, di saat ada keramaian misalnya layar tancap atau ada perayaan di salah satu rumah warga masyarakat, sehingga warga masyarakat akan banyak yang berjalan hilir mudik di sepanjang jalan, maka di sanalah pemuda dengan pemudi bertemu.
Sedangkan alasan pemukiman penduduk berderet di sepanjang sungai adalah :
- sungai sebagai tempat sumber air minum bagi masyarakat.
- sungai sebagai MCK bagi warga masyarakat.
- sulitnya membuat sumur karena pemukaan air tanah sangat dalam.
- sungai sebagai prasarana transportasi.
- sungai sebagai tempat mencari penghasilan tambahan bagi warga masyarakat, baik dengan jalan mengambil ikan langsung ataupun warga masyarakat menggunakannya melalui sistem air deras (bah. sunda: karamba).
(3) Open country village, yaitu beberapa warga masyarakat memilih atau membangun rumahnya tersebar di suatu daerah pertanian atau mendekati lahan garapannya, sehingga memungkinkan terjadinya hubungan dagang di antara mereka, melalui saling melengkapi pemenuhan kebutuhan, karena adanya perbedaan produksi yang dihasilkan. Alasan pembuatan pemukiman yang tersebar seperti halnya pada ciri-ciri fragmented rural settlements.
Banyaknya bentuk dan pola pemukiman masyarakat pedesaan, akan menunjukkan organisasi sosial mereka. Karena mengenal organisasi sosial desa, merupakan salah satu upaya untuk memudahkan melakukan pendekatan terhadap masyarakat pedesaan, terutama masyarakat yang tertutup, karena perangkat desa sebagai pemegang organisasi banyak dikenal oleh masyarakatnya, sehingga dengan membawa salah satu dari mereka sebagai perantara, maka masyarakat pedesaan dapat berhubungan dengan kita.

3) Perkembangan Desa
Departemen Dalam Negeri telah membedakan desa-desa di Indonesia berdasarkan perkembangannya. Kriteria yang dipakai untuk menyusun tipologi desa meliputi : adat istiadat; tingkat pendidikan dan ekonomi penduduk; keadaan prasarana dan pemerintahan desa. Berdasarkan kriteria tersebut, maka diperoleh tiga tipe desa seperti Mursito (1981 : 207-208) kemukakan yang meliputi,
(1) Desa Swadaya
Desa swadaya ialah desa yang masih tradisional dengan adat istiadat yang masih mengikat secara turun-temurun. Penduduk yang tamat Sekolah Dasar kurang dari 30 %. Keadaan ekonominya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan primer saja dan tingkat teknologi masih rendah, sehingga Produktivitas rendah dan keadaan ekonominya lemah. Pendapatan perkapita penduduk setiap tahun di bawah 240 kg beras. Keadaan prasarana desa masih sangat buruk, sehingga komunikasi dengan luar terbatas. Administrasi pemerintahan serta lembaga-lembaga desa lainnya sudah ada tetapi belum berkembang.
Jadi desa swadaya ialah desa yang memiliki potensi atau daya tertentu, namun belum mendapat pengolahan dan pengelolaan sebagaimana mestinya. Dalam penghidupannya desa swadaya masih tergantung pada daya atau kemampuan aslinya sendiri (swa-daya = kemampuan sendiri).
(2) Desa Swakarya
Desaswakarya (transisi) ialah desa di mana pengaruh luar mulai masuk, sehingga adat istiadat mulai longgar. Tingkat pendidikan penduduknya lebih tinggi, yaitu tamat SD antara 30% sampai 60%. Teknologi baru sudah mulai dikenal dan oleh sebab itu produktivitasnya lebih tinggi. Pendapatan perkapita penduduk setahunnya setara dengan 240 kg beras. Keadaan prasarana lebih baik. Administrasi pemerintahan dan lembaga-lembaga desa lain berkembang.
Jadi desa swakarya adalah desa yang potensinya berkembang karena diolah dan dikelola oleh karya masyarakatnya. Dalam penghidupannya desa swakarya sedang mengalami kemajuan (swa-karya = bisa bekerja sendiri untuk maju).
(3) Desa Swasembada
Desa swasembada (desa maju) ialah desa di mana pembaharuan sudah berhasil, sehingga adat istiadat tidak begitu mengikat. Tingkat pendidikan penduduknya cukup tinggi, yaitu lebih 60% telah tamat SD. Teknologi baru sudah dimanfaatkan dan karenanya produktivitas sudah tinggi. Pendapatan perkapita penduduknya setahun diatas 360 kg beras. Keadaan prasarana desa baik, sehingga hubungan dengan luar berjalan lancar. Administrasi pemerintahan dan lembaga-lembaga desa lain pada umumnya sudah berfungsi baik.
Maka desa swasembada ialah desa di mana karya masyarakatnya telah mampu memproses pembangunan, sehingga potensi desa memberi kemakmuran kepada penduduknya, sehingga mampu memenuhi tuntutan sebagai desa (swa-sembada = sendiri bisa diandalkan).
Ketiga tipe desa tersebut tersebar di Indonesia, bagi desa-desa yang ada di pulau Jawa umumnya telah mencapai swakarya dan swasembada, sehingga informasi dan pembangunan dari pemerintah ke desa-desa tersebut mudah untuk diterima oleh masyarakat, tetapi bagi desa-desa yang ada di luar pulau jawa masih banyak yang swadaya, akibatnya informasi dan pembangunan menjadi tersendat, karena itu kemajuan desa tersebut perlu ditingkatkan agar pemerataan pembangunan menjadi merata.

b. Interaksi Desa - Kota
Pengertian interaksi dimulai dari hubungan antar manusia yang disebut interaksi sosial artinya : Suatu hubungan antara dua orang atau lebih, di mana perilaku atau tindakan seseorang akan mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki perilaku atau tindakan orang lain atau sebaliknya.
Interaksi wilayah memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda dengan interaksi sosial, hanya saja interaksi wilayah merupakan interaksi keruangan antara dua wilayah atau lebih yang disebabkan adanya perbedaan potensi dan sumber daya sehingga menimbulkan adanya hubungan yang saling ketergantungan dan saling melengkapi, sehingga akan mempengaruhi perkembangan wilayah itu sendiri. Suatu wilayah tidak akan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa adanya dukungan dari wilayah yang lain, sehingga memerlukan adanya kerjasama yang saling melengkapi dan menguntungkan baik berasal dari perkotaan maupun dari pedesaan, maka terbentuklah interaksi.
Terjadinya interaksi disebabkan oleh beberapa hal seperti :
(1) Lancarnya perhubungan antar wilayah, menyebabkan transportasi dapat menjangkau beberapa wilayah, sehingga terjadi arus pertukaran barang dan jasa;
(2) Arus komunikasi tersebar ke berbagai wilayah, seperti surat khabar, radio, maupun televisi menyebabkan orang yang berada di suatu wilayah terdorong untuk mengetahui daerah lain; dan
(3) Informasi mengenai berbagai wilayah diperoleh dari orang yang pernah berkunjung atau bekerja di suatu daerah, mendorong untuk turut bekerja apabila di daerahnya sendiri tidak diperoleh.
Adanya Interaksi keruangan antara suatu wilayah dengan wilayah yang lain, menimbulkan beberapa pengaruh yang menguntungkan, seperti dari segi ekonomi dengan meningkatnya kualitas hidup; dari segi pembangunan, adanya pemenuhan kebutuhan fisik perkotaan; dan lain-lain.
Manfaat interaksi wilayah atau interaksi perkotaan ini tidak saja dengan kota-kota yang lain, tetapi dengan pedesaanpun interaksi kota memberikan sumbangan yang besar bagi pembangunan dan perkembangan pedesaan, seperti dikemukakan oleh Bintarto, yang merupakan pengaruh positif penetrasi desa terhadap kota, antara lain :
1) Cakrawala pengetahuan desa lebih meningkat, karena semakin banyak jumlah sekolah dasar dan sekolah menengah yang memberikan pengetahuan bagi penduduk usia sekolah. Dengan demikian, pengaruh perkotaan yang menyangkut pelbagai kemajuan mulai masuk dan diterima penduduk desa, seperti panca usaha tani, kelestarian lingkungan dan pengetahuan lainnya non-agraris meliputi pertukangan, keterampilan, maupun jasa mulai diterima secara, sehingga desa menjadi lebih terbuka;
2) Banyaknya sekolah dan guru yang mengajar di pedesaan merupakan sumber daya yang dapat menjadi penggerak pembangunan pedesaan;
3) Terbukanya hubungan desa - kota melalui perluasan jaringan jalan, menyebabkan kendaraan bermotor masuk ke pedesaan untuk mengangkut hasil bumi menjadi semakin intensif, sehingga akan mempengaruhi peningkatan perekonomian desa;
4) Teknologi tepat guna di bidang pertanian atau peternakan meningkatkan produksi desa, sehingga penghasilan penduduk desa menjadi bertambah;
5) Masuknya beberapa ahli dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, sangat bermanfaat bagi pembangunan desa, seperti kelestarian lingkungan, pencegahan erosi, penyediaan air bersih, kelancaran sistim pengairan dan lain-lain;
6) Campur tangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah turut meningkatkan kualitas dan kuantitas wirausaha, terutama di bidang industri, seperti kerajinan tangan, industri rumah tangga, peternakan, atau teknik-teknik pertukangan;
7) Pengetahuan di bidang kependudukan dan kesehatan keluarga menjadi merata dengan adanya Puskesmas, sehingga kesadaran adanya keluarga kecil (KB) menjadi bagian dari pembangunan desa lebih dikenal masyarakat, begitu pula kesadaran akan kesehatan menyebabkan Puskesmas beserta tenaga kesehatan dari kota sangat dibutuhkan penduduk desa; dan
8) Koperasi dan organisasi kemasyarakatan menjadi berkembang dan menunjukkan pengaruh positif bagi perekonomian desa.

Interaksi desa - kota ini tidak selamanya membawa pengaruh yang dapat memajukan pedesaan, adakalanya muncul pengaruh yang tidak disengaja atau diharapkan muncul, sehingga menjadi pengaruh negatif yang dapat merugikan penduduk itu sendiri, yang antara lain :
(1) Modernisasi atau perkembangan penduduk kota, terutama mode, kosmetik, atau pergaulan dapat menebabkan munculnya proses peniruan (imitasi) yang dilakukan penduduk pedesaan, seperti :
- meniru gaya pakaian orang kota yang menurut pandangan mereka sangat bagus, tetapi kadangkala ditiru tanpa mempehatikan kondisi yang ada, akibatnya pakaian tersebut dipakai sepanjang waktu;
- pemakaian kosmetik yang belebihan dilakukan oleh kaum wanita, menyebabkan ketidakseimbangan penampilan dengan situasi dan tempat, misalnya di dapur atau menggunakan kosmetik;
- pergaulan yang salah ditiru, menyebabkan pemuda desa banyak yang ingin mencoba seperti pemuda kota, akhirnya timbul penyalahgunaan obat terlarang atau munculnya kebiasaan-kebiasaan mabuk;
(2) Masuknya televisi ke pedesaan selain sebagai hiburan dan penambah ilmu pengetahuan, juga masuknya pengaruh negatif di desa seperti :
- banyaknya iklan yg ditawarkan menyebabkan penduduk menjadi konsumtif;
- mode rambut, atau pakaian yang ditampilkan oleh penyanyi menyebabkan penduduk untuk menirunya;
- kejahatan-kejahatan yang terdapat dalam film-film barat dapat meningkatkan kejahatan di pedesaan;
(3) Keadaan perkotaan semakin diketahui penduduk pedesaan, menyebabkan terbukanya kesempatan untuk urbanisasi, akibatnya banyak pemuda desa yang berusaha mengadu nasib di perkotaan, akibatnya pedesaan kekurangan tenaga kerja potensil;
(4) Perluasaan kota dan masuknya orang-orang kota ke pedesaan, banyak mengubah tata ruang desa, seperti banyaknya pemukiman di pinggiran perkotaan yang termasuk wilayah desa, akibatnya tanah produktif menjadi berkurang, penduduk pedesaan yang tadinya petani beralih pekerjaan menjadi buruh bangunan di perkotaan;
(5) Penetrasi kebudayaan perkotaan ke pedesaan yang tidak atau kurang sesuai dengan kebudayaan desa, menyebabkan terganggunya adat istiadat yang telah lama berlaku secara turun temurun; dan
(6) Masalah lain yang timbul dari adanya interaksi kota, misalnya : kenakalan remaja pedesaan, pencemaran lingkungan, renggangnya hubungan sosial dan lain-lain.
Pengaruh negatif dari adanya interaksi kota, harus diimbangi dengan pembangunan pedesaan dan kesempatan kerja yang terbuka, sehingga mereka menyadari peranannya dalam pembangunan seutuhnya, baik pembangunan fisik maupun pembangunan mental.
Interaksi wilayah dapat terjadi pada suatu kota terhadap kota lain, interaksi kota terhadap desa atau sebaliknya interaksi desa terhadap kota, akan menarik (gravitasi) penduduk suatu daerah untuk berkunjung, mencari pekerjaan, atau berpindah tempat tinggal ke daerah yang dituju. Maka yang diperhitungkan dalam gaya tarik-menarik ini patut memperhitungkan :
- Jarak (panjang jalan yang ditempuh dengan Km atau lamanya waktu tempuh);
- Keterjangkauan (transportasi yang dapat digunakan, kendaraan umum, pribadi,atau jalan kaki);
- Fasilitas terdapat di suatu wilayah ;
- Pelayanan yang memuaskan dapat diperoleh dari suatu wilayah;
- Banyaknya kesempatan berusaha; dan lain-lain.
Adanya interaksi wilayah tidak hanya kota tertentu saja, melainkan banyak kota yang memiliki daya tarik terhadap beberapa desa, sehingga penduduk pedesaan berusaha untuk datang ke perkotaan yang dipilih sesuai dengan tujuannya, baik berdagang, berbelanja, rekreasi, mengunjungi kerabat, maupun melanjutkan pendidikan.
Pedesaan juga memiliki daya tarik tersendiri bagi penduduk perkotaan, sehingga mereka banyak yang datang dengan berbagai alasan yang tidak jauh berbeda dengan alasan penduduk pedesaan datang ke perkotaan.
Adanya kekuatan tarikan suatu wilayah terhadap wilayah lainnya akan memperkuat terjadinya mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk dalam pengertian di sini adalah mobilitas geografis, yang maksudnya penduduk berpindah tempat dari suatu wilayah ke wilayah lain, baik secara permanen (menetap) maupun pada saat tertentu saja (tidak permanen. Mobilitas penduduk, antar wilayah antara lain sebagai berikut :
(1) Mobilitas penduduk antar kota, dapat terjadi karena adanya daya tarik suatu kota terhadap kota yang lain. Misalnya :
- Adanya mutasi pegawai antar kota, yang mengharuskan seseorang untuk pindah dari suatu kota ke kota lain, karena kota yang dituju memerlukan tenaganya, atau pilihannya sendiri untuk dimutasikan ke kota lain;
- Mencari kerja di kota lain, karena memiliki kesempatan berusaha yang lebih baik dibandingkan di kota sendiri, seperti penduduk dari Bandung yang bekerja di Jakarta, atau sebaliknya;
- Suatu perkotaan dianggap lebih menguntungkan dalam berdagang atau melanjutkan pendidikan;
- Rekreasi yang dilakukan oleh penduduk suatu kota ke kota lain karena di kotanya sendiri tidak ditemukan hal-hal yang dianggapanya baru atau untuk menambah pengalaman. Misalnya : Studi tour yang dilaksanakan oleh pelajar SMU di kota Bandung melakukan kunjungan ke TMII atau ke Yogyakarta. Begitu pula sebaliknya dari Yogya atau Jakarta banyak yang berdatangan ke Bandung untuk berkunjung ke Museum Geologi, Tangkuban Perahu, Ciater dan tempat-tempat lain yang dijadikan sumber Studi siswa; dan lain-lain
(2) Mobilitas Penduduk dari pedesaan ke perkotaan. Setiap saat berdatangan penduduk pedesaan ke perkotaan untuk tujuan-tujuan tertentu. Misalnya :
- Penduduk pedesaan mencari kerja dan menetap di perkotaan (Urbanisasi);
- Berdagang di saat musim buah-buahan, sehingga penduduk pedesaan tinggal beberapa saat di perkotaan (migrasi sirkuler);
- Mengunjungi kerabatnya di kota sambil rekreasi; dan lain-lain.
(3) Mobilitas Penduduk dari perkotaan ke pedesaan. Sekarang ini banyak penduduk yang kembali ke desa. Misalnya :
- Mencari pemukiman di pinggiran kota yang termasuk wilayan pedesaan, karena jauh dari kebisingan, pencemaran atau mencari ketenangan;
- Penduduk perkotaan banyak yang membeli tanah pertanian di pedesaan sebagai investasi di hari tua atau sebagai tempat peristirahatan;
- Tempat kembali ke sosial halaman, berkumpul bersama orang tua dan handai taulan di saat-saat hari lebaran;
- Tempat rekreasi bagi penduduk perkotaan, atau bagi pelajar yang mengisi hari liburnya; dan lain-lain.
Pemilihan wilayah yang dijadikan tujuan mobilitas geografis, disebabkan wilayah tersebut memiliki daya tarik yang kuat, sehingga orang berusaha untuk datang kembali, bahkan sampai menetap di wilayah tersebut.
Interaksi kota didukung oleh adanya beberapa aspek yang menyebabkan penduduk tertarik pada suatu kota, yang tentu saja merupakan latar belakang, sosial dan akibat terjadinya interaksi. Aspek-aspek interaksi ini meliputi sosial, ekonomi dan budaya, dengan penjelasan sebagai berikut :
(1) Aspek Ekonomi
(a) Lancarnya perhubungan dan pengangkutan antara perkotaan dengan pedesaan menyebabkan penduduk desa mengenal kota dan penduduk kota mengenal desa, sehingga terjadi interaksi;
(b) Pedesaan sebagai produsen bahan pangan sedangkan perkotaan sebagai konsumen, menyebabkan terjadinya arus pangan dari desa ke kota. Begitupula sebaliknya pedesaan membutuhkan hasil industri dari perkotaan, menyebabkan terjadinya arus barang dari kota ke desa. Adanya saling mem-butuhkan antara kota dengan desa menyebabkan terjadinya interaksi; dan
(c) Adanya timbal balik pemenuhan kebutuhan tersebut, menyebabkan munculnya pusat-pusat perdagangan yang siap memenuhi kebutuhan berbagai wilayah.
(2) Aspek Sosial
(a) Adanya mobilitas penduduk, antar wilayah (desa - kota) baik untuk menetap ataupun tidak; dan
(b) Pertumbuhan industri di perkotaan membutuhkan bahan baku dan tenaga kerja yang tidak semuanya dapat dipenuhi dari kota bersangkutan, sehingga memerlukan bahan baku dari wilayah lain, di antaranya dari pedesaan.
(3) Aspek Budaya
(a) Semakin lancarnya hubungan pedesaan dengan perkotaan dapat menyebabkan munculnya peniruan sikap hidup dan gaya perkotaan oleh penduduk pedesaan; dan
(b) Hubungan pedesaan dengan perkotaan tidak lagi terhambat oleh keadaan alam, keadaan perhubungan dan pengangkutan, menyebabkan pedesaan menjadi incaran penduduk perkotaan. Akhirnya banyak penduduk perkotaan bertempat tinggal di pedesaan dan penduduk pedesaan bertempat tinggal di perkotaan.

c. Mobilitas Penduduk Pedesaan
Perkembangan penduduk pedesaan mengalami pertumbuhan yang pesat, terutama setelah revolusi fisik atau perang kemerdekaan di tahun 1945 - 1950. Fenomena ini telah mendorong terjadinya pemekaraan wilayah desa, yang menyebabkan jumlah satuan desa menjadi bertambah. Lain halnya dengan pertambahan penduduk kota, yang menyebabkan semakin meluasnya wilayah kota bersangkutan, baik secara vertikal maupun horizontal.
Pertumbuhan penduduk pedesaan tidak seimbang dengan lapangan kerja yang tersedia, karena itu mereka berusaha mencari kerja ke tempat lain, dan tempat yang memberikan peluang lapangan kerja yang lebih berarti adalah kota. Kota dijadikan daerah tujuan oleh warga pedesaan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dan kecenderungan inilah yang menimbulkan arus urbanisasi yang deras. Pengertian Urbanisasi secara harfiah berasal dari kata urban yaitu suatu satuan wilayah (region) dengan ciri fisik-material dan sosio-kultural yang spesifik. Secara fisik (ruang) ditata dan diorganisasikan secara rasional atas dasar fungsi-fungsi tertentu sehingga menghasilkan apa yang disebut zonifikasi atau pewilayahan ruang perkotaan (urban) dan menghasilkan pula efektivitas serta efisiensi yang tinggi. Semua rekayasa ini dilakukan karena lazimnya wilayah suatu daerah perkotaan (urban) itu relatif terbatas. Urbanisasi berarti suatu proses mengkota; yang memiliki banyak arti, antara lain :
(1) suatu proses atau suatu bentuk gerakan (migrasi) penduduk, dalam hal ini khusus penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan (urban area);
(2) suatu proses terjadinya masyarakat perkotaan yang telah memiliki atau menganut nilai-nilai, cara-cara, dan gaya-gaya hidup menurut budaya perkotaan; adanya masyarakat atau kelompok masyarakat yang semacam ini tidak hanya terdapat di perkotaan, tetapi dapat juga di wilayah pedesaan, terutama dengan mudah dapat dijumpai di pulau Jawa.
(3) suatu proses berkembangnya satu satuan wilayah pedesaan beserta masyarakat (penduduknya), yang karena kondisi-kondisi tertentu, wilayah pedesaan dijadikan pusat pengembangan berbagai bentuk kegiatan industri, misalnya manufaktur, atau industri pariwisata; Contohnya di Indonesia seperti pengembangan daerah Cilegon, Bontang, Bitung, dan banyak lagi.
Gejala dan proses urbanisasi boleh dikatakan bersifat universal; artinya dapat berlaku atau terjadi baik di negara maju maupun di negara berkembang. Derasnya arus urbanisasi dalam arti perpindahan penduduk pedesaan ke wilayah-wilayah perkotaan disebabkan adanya sejumlah faktor, yaitu :
(1) faktor-faktor pendorong atau push factors, yaitu faktor yang berasal dari wilayah pedesaan itu sendiri, antara lain :
(a) adanya pertumbuhan penduduk pedesaan yang cepat sehingga terjadi over population terutama di daerah-daerah pedesaan yang agraris tradisional;
(b) di daerah-daerah tersebut lapangan kerja atau usaha yang non-agraris relatif sangat langka atau terbatas, sehingga angka pengangguran semakin meningkat;
(c) semakin baik sarana dan pra-sarana transportasi yang menghubungkan wilayah pedesaan dengan satuan wilayah perkotaan;
(d) semakin cepat dan transparannya arus informasi tentang hal-ihwal perkotaan yang menembus wilayah-wilayah pedesaan melalui berbagai bentuk media masa yang membuat masyarakat pedesaan terutama para remajanya semakin tergiur untuk berdatangan ke kota;
(e) semakin meratanya kesempatan untuk memperoleh pendidikan di seantero daerah pedesaan, di mana para remajanya telah merasakan bahwa status pendidikan yang telah dimilikinya tidak cocok, tidak ada keterkaitan, tidak memiliki relevansi dengan lapangan kerja di daerahnya.
(2) faktor-faktor penarik atau pull factor, yang tergolong faktor-faktor ini antara lain :
(a) adanya keanekaragaman lapangan kerja atau usaha non-agraris;
(b) setiap satuan usaha non-agraris secara relatif memiliki daya tampung tenaga kerja lebih besar daripada usaha agraris tradisional di pedesaan;
(c) di daerah perkotaan ada kecenderungan kurangnya tenaga kerja kasar;
(d) peluang-peluang untuk meningkatkan karier, pendidikan, dan keterampilan khusus lebih besar, karena pada dasarnya sampai sekarang di perkotaan berperan sebagai pusat modernisasi yang terjadi hampir di segala sisi kehidupan;
(e) daerah perkotaan sebagai pusat akumulasi dan peredaran modal atau finansial;
(f) pola kehidupan keluarga telah banyak mengalami perubahan, di mana status dan peran istri tidak lagi sebagai ibu rumah tangga secara penuh, yang hanya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan di rumah, tetapi telah bekerja di luar rumah sebagai pencari nafkah untuk membantu kehidupan keluarga, seperti menjadi pengasuh anak, pekerjaan di dapur, membersihkan rumah, mencuci pakaian, mengantar anak ke sekolah, ke pasar, dll., yang dikenal dengan sebutan pembantu rumah tangga.
Terjadinya urbanisasi dapat menyebabkan terjadinya dampak buruk, baik yang dialami oleh masyarakat pedesaan yang ada di kota, dan masyarakat perkotaan, maupun masyarakat pedesaan itu sendiri. Adapun dampak-dampak tersebut antara lain :
(1) dampak buruk yang dialami masyarakat pedesaan, antara lain :
(a) wilayah pedesaan akan kekurangan tenaga terutama dibidang agraris tradisional, karena para remajanya telah tidak tertarik lagi untuk bekerja dibidang tersebut. Hal ini diperkuat lagi oleh adayan sistem waris, yang mengakibatkan pemilikan lahan perkapita di pedesaan semakin sempit, sehingga tidak lagi banyak memberikan harapan masa depan yang lebih baik terutama kepada generasi mudanya;
(b) peningkatan kecerdasan bagi penduduk pedesaan melalui pemerataan pendidikan yang tidak dibarengi oleh penyediaan lapangan usaha bagi para lulusan pendidikan tersebut, telah mendorong para remaja lulusan sekolah ramai-ramai pergi kekota dan meninggalkan masyarakatnya sendiri;
(c) biaya usaha bidang agraris cenderung akan terus meningkat (karena kekurangan tenaga kerja) sehingga stabilitas harga bahan pokok terutama beras akan terganggu, akibatnya para petani dewasa atau yang tua sekalipun telah beralih untuk memilih bekerja di pekotaan. Akibat yang jauh lebih lagi dari fenomena urbanisasi dengan segala aspeknya, adalah bahwa program-progam pembangunan di daerah pedesaaan secara keseluruhan akan banyak mengalami berbagai kendala.
(2) dampak buruk yang dialami masyarakat dan daerah perkotaan, antara lain :
(a) meskipun di perkotaan relatif banyak dan beraneka ragam lapangan kerja atau usaha, namun menuntut berbagai kemampuan atau keterampilan khusus, sehingga para urbanisan akan dihadapkan pada berbagai lapangan kerja yang diskriminatif atas dasar spesialisasi keterampilan kerja;
(b) karena dampak dari butir { (a) } di atas, secara umum akan menimbulkan gejolak dan masalah sosial, misalnya pengangguran, kriminal, dan perilaku-perilaku asosial lainya;
(c) derasnya arus urbanisasi menyebabkan laju pertambahan penduduk kota semakin ekplosif, yang berdampak pada masalah perumahan dengan segala anasirnya. Antara kemampun dan kebutuhan rumah, indeknya semakin tidak seimbang dimana kebutuhan jauh lebih besar, dan terciptalah sejumlah kelompok perumahan kumuh. Wilayah perkotaan seolah-olah di mozaik oleh wilayah-wilayah elit, gemerlap, penuh keceriaan dan keramaian, yang kemudian diselang-seling oleh wilayah-wilayah perumahan kumuh dengan segala masalahnya;
(d) segala kecenderungan butir (a) sampai dengan (c) di atas, melahirkan ragam masalah lain yaitu, masalah pertanahan di daerah perkotaan mulai dari masalah pemilikan, konflik penyerobotan, harga, berbagai bentuk masalah lain, misalnya sengketa tanah baik antara individu, antar kelompok, dan antara individu dengan pemerintah;
Penanggulangan dampak buruk dari urbanisasi, karena dampaknya amat komplek, maka penanggulanganya menjadi tidak mudah. Namun ada beberapa usaha yang sebaiknya dilalukan, antara lain,
(1) desentralisasi pusat-pusat kegiatan pembangunan (berbagai bentuk kegiatan industrialisasi) ke daerah-daerah pedesaan, sekurang-kurang mendekati hinterland;
(2) usaha pertanian di pedesaan perlu dilanjutkan dengan usaha agro-indusrti atau agribisnis;
(3) untuk meningkatkan volume kerja dan produktivitas kerja bagi masyarakat pedesaan terutama dalam bidang industri kecil atau industri rumah, selain program listrik masuk desa, harus dibarengi oleh peningkatan ketrampilan dan bantuan modal usahanya;
(4) program yang paling efektif bagi keseluruhan kehidupan bangsa Indonesia adalah program transmigrasi.

d. Masyarakat Perkotaan
Masyarakat perkotaan orientasi hidupnya tidak pada sektor agraris, melainkan lebih menitik beratkan pada sektor industri dan jasa, sehingga masyarakat perkotaan dapat disebut sebagai masyarakat industri atau masyarakat modern. Mereka bekerja di berbagai bidang kehidupan, seperti bekerja pada sektor industri sebagai buruh atau karyawan, bekerja di kantor, atau melayani kepentingan orang lain pada bidang hukum dengan menjadi pengacara, bekerja di Bank, sebagai pedagang dan lain-lain. Banyaknya masyarakat yang bekerja dengan jenis-jenis pekerjaan yang berbeda, akan menumbuhkan stratifikasi sosial yang sangat kompleks.
Walaupun demikian, masyarakat perkotaan di Indonesia semuanya tidak dapat dikatakan sebagai masyarakat industri atau modern secara utuh, karena di antara mereka masih membawa sifat-sifat sikap dan prilaku yang dibawa dari daerah asalnya, yaitu dari pedesaan. Adanya ciri-ciri pedesaan yang dibawa ke perkotaan melalui urbanisasi di mana mereka lahir di pedesaan, kemudian bekerja di perkotaan, sehingga mereka merupakan generasi-generasi yang lahir di pedesaan. Hal ini, dapat berbeda dengan keturunan mereka yang lahir dan dibesarkan di perkotaan, yang tentu saja akan memiliki ciri-ciri kehidupan masyarakat perkotaan yang lebih dominan.
Bagi mereka yang berasal dari pedesaan kemudian menjadi penduduk perkotaan, secara fisik dapat saja dengan cepat menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada di kota, seperti bentuk rumah, kekayaan, fasilitas kehidupan dan lain-lain, tetapi penyesuaian mentalitas untuk menjadi masyarakat perkotaan kadangkala lambat, sehingga tetap di antara mereka sering mengalami kepincangan budaya (culture lag). Kecepatan adaptasi (penyesuaian) orang desa menjadi orang kota banyak dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan yang bersangkutan.
Banyaknya perbedaan di antara masyarakat perkotaan menuntut adanya keseragaman pandangan tentang kriteria fenomenal suatu kota, yang menurut Daldjoeni (1978 : 17) terdapat enam kondisi yg diperlukan perkotaan, yaitu :
1) pembagian dan spesialisasi kerja yang jelas;
2) organisasi sosial lebih berdasarkan pada pekerjaan dan kelas daripada berdasarkan pada asas kekeluargaan;
3) lembaga pemerintahan lebih berdasarkan teritorium daripada kekeluargaan;
4) suatu sistem perdagangan dan pertukangan melengkapi aktivitas kehidupan masyarakat perkotaan;
5) masyarakat kota memiliki sarana komunikasi; dokumentasi; dan informasi yang memadai, rasional, dan fungsional.
6) masyarakat perkotaan memiliki teknologi yang rasional, kepentingan dan manfaat teknologi dapat dirasakan secara langsung.

Masyarakat perkotaan yang modern sebagai masyarakat industri, menurut Daldjoeni (1978 : 55) menyebabkan struktur sosial kota menjadi kompleks yang dilatar belakangi oleh beberapa gejala, yaitu :
a) Heterogenitas sosial
Adanya heterogenitas sosial kota yang dicirikan dengan,
- kepadatan penduduk perkotaan mendorong terjadinya persaingan dalam memanfaatkan ruang.
- setiap orang bertindak dan memilih pekerjaan yang paling menguntungkan bagi dirinya, sehingga muncul spesialisasi pekerjaan.
- jumlah anak dalam setiap keluarga di kota cenderung dibatasi (hanya 2 anak) karena mereka telah dapat mengukur kemampuannya dalam tugas mendewasakan anak-anaknya.
- kota merupakan melting pot bagi aneka suku bangsa dan ras.
- kelompok masyarakat yang minoritas akan mempertahankan diri keberadaannya upaya meningkatkan kualitas dirinya, sehingga memiliki daya saing yang tinggi dengan kelompok lainnya.
b) Hubungan sekunder
Hubungan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat pedesaan disebut hubungan primer, maka hubungan pada masyarakat kota disebut hubungan sekunder. Misalnya, hubungan pemerintah dengan masyarakatnya terbatas pada bidang kehidupan tertentu, begitu pula hubungan antar masya-rakat dibatasi oleh jarak karena tempat tinggal yang saling berjauhan seperti hubungan teman sekerja di suatu kantor, di mana mereka bertemu pada saat kerja saja atau hubungan antar anggota dalam suatu organisasi formal.
c) Toleransi sosial
Masyarakat perkotaan tidak terlalu memperdulikan perilaku sese- orang, walaupun terdapat kontrol sosial terhadap masyarakat tetapi sifatnya tidak menyangkut urusan pribadi seseorang, sehingga setiap tindakan yang dilakukan seseorang apabila tidak merugikan umum atau orang lain maka tindakan tersebut mendapat toleransi.
d) Kontrol (pengawasan sekunder)
Warga perkotaan secara fisik dapat saja berdekatan, tetapi secara sosial mereka berjauhan. Sehingga hubungan antar tetangga tidak menghasilkan hubungan sosial yang erat secara emosional, karena itu bisa saja terjadi, misalnya pesta yang meriah berlangsung di salah seorang warga, sedangkan tetangga di sebelahnya tengah menangisi kematian salah satu anggota keluarganya.
e) Mobilitas sosial
Perubahan status setiap warga masyarakat terbuka dan dapat terjadi setiap saat. Aktivitas kehidupan masyarakat perkotaan dengan sengaja terspesialisasi atau dilakukan secara profesional agar yang bersangkutan dapat mencapai perubahan kehidupan sesuai dengan yang diinginkan sehingga statusnya naik ke tingkat yang lebih tinggi. Usaha untuk meningkatkan status seseorang dapat dilakukan dengan perjuangan secara pribadi atau perjuangan kelompok seprofesi, karena adanya solidaritas kelas. Misalnya, melalui perkumpulan-perkumpulan organisasi profesi seperti PGRI, PWI, IDI, dan sebagainya.
f) Ikatan sukarela (voluntary association)
Warga perkotaan secara sukarela banyak yang menggabungkan diri ke dalam organisasi (perkumpulan) yang disukainya berdasarkan hobby atau kepentingan, seperti perkumpulan olahraga, klub filateli, group musik, ikatan penggemar bongsai dan sebagainya. Walaupun anggota setiap perkumpulan tersebut masuk secara sukarela, tetapi setiap perkumpulan berusaha sebanyak mungkin mendapatkan anggotanya melalui persaingan dengan perkumpulan lain, melalui teknik memikat dan propaganda yang disebarkan di media massa (Surat Kabar, Radio, Televisi, Spanduk dan sebagainya.), Misalnya, Gerakan Keluarga Berencana, Partai Politik, dsb.
g) Individualisasi
Akibat dari pemusatan kepentingan yang bersifat pribadi, maka orang kota memutuskan segala sesuatunya yang berhubungan dengan kehidupannya secara pribadi tanpa desakan orang lain, seperti memutuskan untuk membeli rumah, memutuskan untuk memilih jodoh, memutuskan untuk memilih dan merecanakan karier dan sebagainya. Hal ini disebabkan segala fasilitas kehidupan dan kesempatan berusaha tersedia di kota.
h) Segregasi Keruangan (spatial segregation)
Akibat persaingan dalam mendapatkan ruang, menyebabkan terjadinya pola sosial yang berdasarkan persebaran tempat tinggal atau sekaligus sebagai kegiatan sosial-ekonomi, sehingga terjadi pemisahan (segregation) berdasarkan ras, suku bangsa, pusat-pusat kegiatan dan sebagainya. Misalnya, terdapat pusat pemukiman orang China (pecinan), pusat pemukiman orang Arab, pusat perbelanjaan, pusat perdagangan barang-barang bekas, pusat olahraga, daerah pelacuran, kompleks perumahan pegawai Pemda dan sebagainya.
Gejala-gejala tersebut senantiasa ada di kota, terutama pada masyarakat yang benar-benar telah menjadi masyarakat yang mandiri jauh dari sifat tradisional. Penduduk kota sebagai masyarakat modern menurut Soemardjan (dalam Sajogyo, 1985 : 112), memiliki beberapa ciri, antara lain:
a) hubungan antara sesama manusia terutama didasarkan atas kepentingan-kepentingan pribadi;
b) hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain dilakukan secara terbuka dalam suasana saling mempengaruhi, kecuali (mungkin) dalam penjagaan rahasia penemuan-penemuan baru;
c) kepercayaan kuat pada manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sarana untuk senantiasa meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
d) masyarakat di golong-golongkan berdasarkan bermacam-macam profesi serta keahlian yang masing-masing dapat dipelajari dan ditingkatkan dalam lembaga-lembaga pendidikan, keterampilan dan kejuruan;
e) tingkat pendidikan formal yang tinggi dan merata;
f) hukum yang berlaku pada pokoknya hukum tertulis yang sangat kompleks;
g) ekonomi hampir seluruhnya merupakan ekonomi pasar yang didasari atas penggunaan uang dan alat-alat pembayaran yang lain.

Masyarakat perkotaan yang modern, termasuk manusianya secara perorangan, apabila mereka telah menyeluruh memiliki sikap modern, maka dapat disebut sebagai masyarakat modern.
Pengkategorian masyarakat Indonesia dapat dilihat berdasarkan tipologi sosio-kultural yang beraneka ragam misalnya :
(1) kelompok-kelompok masyarakat petani tradisional dengan sistem irigasi yang teratur (masyarakat Jawa dan Bali), sejak masa lampau pengaruh unsur-unsur kebudayaan Hindu cukup kuat dalam masyarakat ini;
(2) kelompok-kelompok masyarakat dari kawasan pesisir di Nusantara ini karena lokasinya, sejak masa lampau kelompok-kelompok masyarakat di kawasan pesisir ini telah banyak berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain sehingga aktivitasnya relatif beragam (bertani, nelayan berdagang dan sebagainya). Pengaruh agama Islam dan budayanya cukup kuat dalam kehidupannya, sebab masyarakat pesisirlah yang paling duluan berinteraksi dengan para pendatang yang membawa dan menyebarkan agama islam tersebut;
(3) kelompok-kelompok masyarakat petani(lahan kering) dari daerah-daerah pedalaman yang relatif terisolasi, terutama pada masa lampau, sehingga pengaruh unsur-unsur luar tidak menyentuhnya, baik pengaruh Hindu maupun Islam (Tapanuli,Toraja).
Selain ketiga kategori masyarakat tadi, kategori lainnya yang kemunculannya relatif kemudian adalah kelompok masyarakat perkotaan (masyarkat uban). Suatu kawasan di mana hampir semua suku bangsa yang ada di Nusantara ini hidup bersama dan berintegrasi serta menciptakan kebudayaan sebagai satu kesatuan sosial yang disebut masyarakat perkotaan.
Kota-kota di Indonesia dapat dibedakan dalam katagori Kota Metropolitan, Kota Raya (kota besar, kota propinsi), dan kota Kecil (kota kabupaten). Semua kategori ini tentu saja masih dalam proses perkembangan, sehingga setiap kategori bisa berubah statusnya. Sejalan dengan proses perkembangan penduduk kota-kota di Indonesia secara sosial-kultural rata-rata baru antara 3-5 generasi. Karena itu super kultur metropolitan hanya dimiliki secara padu oleh sebagian saja, sedangkan sebagian lagi masih menganut bicultural (kebudayaan rangkap). Artinya, sementara kelompok masyarakat perkotaan tersebut masih memperahankan sejumlah unsur-unsur kebudayaan daerah-daerah dari mana mereka berasal. Unsur-unsur tersebut terutama yang berkenaan dengan hubungan kekeluargaan (famili), kepercayaan (agama), bahasa dan unsur-unsur tradisi kedaerahan lainnya.
Unsur-unsur super-kultur metropolitan yang telah banyak menonjol dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, antara lain :
(1) aspek-aspek politik;
(2) aspek-aspek seni dan rekreasi;
(3) aspek-aspek fisik material (ekonomi).
Sedang aspek-aspek sikap mental dan perilaku masih banyak yang menunjukan dalam tahapan peralihan (transisi), sehingga fenomena ketimpangan budaya atau culture-lag masih menjadi hal yang keseharian bisa dijumpai. Jika dilihat dari tiga wujud kebudayaan, maka super-kultur metropolitan yang telah menonjol dalam kehidupan masyarakat perkotaan di Indonesia, pada umumnya hanya dari sistem aktivitas dan organisasi sosial, dan wujud dari sistem kebendaan atau kebudayaan fisik. Sedangkan wujud dari sistem budaya (ide, gagasan, persepsi, pikiran) masih banyak dikontaminasi atau campur baur antara sistem ide yang maju dengan sistem ide yang bersumber dari unsur-unsur tradisi.
Sebagai pendukung utama dari super-kultur metropolitan di Indonesia, pada umumya dari kelompok masyarakat elit intelek dan elit politik, serta pengusaha besar (klompok elit ekonomi). Mereka ini terdiri atas pegawai tinggi pemerintah, para tenaga ahli, para peminpin partai politik, para perwira tinggi militer, dan para pengusaha yang berhasil, terutama untuk kota metropolitan Jakarta. Bagi kelompok-kelompok masyarakat yang kurang berhasil baik dalam meraih status sosial, maupun status ekonomi, maka neraca budaya rangkap akan lebih berat kearah unsur-unsur budaya kedaerahan.
Kelompok-kelompok lain dari masyarakat perkotaan Indonesia adalah kelas menengah kota, dan golongan proletar kota. Kelas menengah kota terdiri atas;
(a) para pegawai menengah (tenaga kesehatan, guru, pegawai kantor pemerintah atau perusahaan)
(b) buruh ahli (tukang jahit, tukang besi, para supir, para montir atau bengkel).
(c) keluarga-keluarga dari keturunan yang telah lama tinggal dikota itu.
Sedangkan golongan proletar kota terdiri atas para buruh (kasar), pembantu rumah tangga, para pedagang kaki lima, mereka ini pada umumnya tidak memiliki keahlian kerja tertentu. Jumlah kelompok ini semakin lama semakin memadati kota-kota besar di Indonesia, terutama Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
Kota sebagai pusat Modernisasi. Suatu bangsa atau masyarakat yang berusaha menjalani proses modernisasi, berarti ia hanya berkemauan untuk berusaha menyesuaikan diri dengan konstelasi kehidupan dunia pada zaman atau periode di mana bangsa atau masyarakat tersebut hidup. Hal ini berarti pada hakekatnya berlangsung dalam segala zaman, tidak terbatas dalam abad ke 21 ini berbagai bangsa atau masyarakat pernah mengalami suatu usaha dan proses modernisasi.
Sekitar abad ke IV sampai ke X kerajaan-kerajaan besar di India dan China menentukan konstelasi kehidupan dunia, Asia Timur dan Asia Tenggara khususnya, maka kerajaan-kerajaan di Asia, termasuk Sriwijaya dan Majapahit berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan ekonomi, politik, dan kebudayaan dari kerajaan-kerajaan besar tersebut (India dan China). namun, tentu saja dalam menyesuaikan diri tersebut, setiap kerajaan menjaga sifat kekhususannya masing-masing dalam melaksanakan modernisasinya itu. Itulah sebabnya, mengapa kebudayaan Sriwijaya atau Majapahit berbeda dengan kebudayaan di India; atau kebudayaan Vietnam, Jepang, dan Korea berbeda dengan kebudayaan China.
Dewasa ini ada tiga kekuatan yang menentukan konstelasi kehidupan dunia, yaitu pasaran Bersama Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Jika masyarakat Indonesia tidak mau sekedar menjadi satelit dari salah satu kekuatan tadi, maka masyarakat Indonesia harus berusaha menjaga dan memelihara sifat kekhususannya, seperti halnya nenek moyang kita di zaman Sriwijaya dan Majapahit, yang tidak menjadi orang India. Untuk memasuki proses modernisasi, ada baiknya memahami dulu tiga istilah berikut ini yaitu,
(1) modernisasi
(2) penggunaan unsur-unsur kebudayaan Barat
(3) westernisasi.
Modernisasi singkatannya adalah, usaha untuk hidup sesuai dengan zaman konstelasi kehidupan dunia pada periode sekarang ini. Khusus bagi masyarakat Indonesia, hal ini berarti berusaha mengadakan perubahan-peruhahan sejumlah sifat mental yang tidak cocok dengan tantangan kehidupan zaman sekarang, dan berusaha membiasakan dengan sifat-sifat mental sebagai berikut ini. Mentalitas atau nilai budaya yang mesti dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, antara lain :
(1) nilai-budaya atau sikap mental yang berorientasi kemasa depan, yang dengan seksama dan teliti merencanakan masa depannya, yang mendorong untuk hidup hemat;
(2) nilai budaya yang selalu berhasrat mengeksplorasi lingkungan dan inovasi-inovasi teknologis dan menilai tinggi inovasi itu sendiri.Teknologi memang bisa dibeli dari produk asing, tetapi dalam penerapannya memerlukan adaptasi yang sering lebih sulit daripada mengembangkan teknologi baru;
(3) mentalitas yang siap menilai tinggi mutu hasil karya atau suatu prestasi, dan bukan menilai tinggi status sosial yang dikarenankan prestasi tersebut, yang sering dijadikan suatu gengsi semata-mata ;
(4) mentalitas yang bersedia menilai tinggi usaha orang yang dapat mencapai hasil atau prestasi atas kerja keras sendiri.
Unsur-unsur kebudayaan Barat terutama aspek-aspek iptek, bagi masyarakat Indonesia tidak ada salahnya untuk meniru, mengambil alih, mengadaptasi, bahkan untuk membelinya, namun, tanpa harus masyarakat Indonesia berubah menjadi seperti orang Barat, dan tanpa harus bergaya hidup seperti orang Barat. Jika masyarakat Indonesia meniru, mengambil alih, dan membeli unsur-unsur kebudayaan Barat terutama dimensi-dimensi ipteknya, dan kemudian masyarakat Indonesia menjadi seperti dan bergaya hidup Barat, dan berusaha membiasakan menganut nilai budaya atau mentalitas seperti yang telah dirumuskan ke dalam empat sifat mental tadi, serta tetap memelihara sifat-sifat kekhususannya, maka itulah yang disebut proses modernisasi masyarakat Indonesia. Sejak masa lampau usaha semacam ini telah dilakukan pula oleh bangsa Indonesia, serperti halnya telah ditunjukan oleh kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
Secara geografis keberartian unit kehidupan bertetangga dalam kehidupan kota, dapat dilihat dari empat peranan, sebagai berikut,
- Memberikan pemahaman akan arti jarak sosial dan jarak geografis;
- Adanya relevansi antara unit kehidupan dengan sistem distribusi barang-barang dan pelayanan;
- Memberikan identitas dan arti dari wilayah suburban sebagai tempat tinggal yang hubungannya sangat erat dengan mobilitas penduduk metropolitan; dan
- Membangun integritas kelompok dari suatu teritorial tertentu di mana setiap anggotanya bisa berinteraksi atau kontak-kontak sosial baik secara spontan maupun secara terorganisasi.